Pages

Blogger templates

Wednesday, September 4, 2013

HUKUM PERIKEMANUSIAAN INTERNASIONAL



Sejarah HPI
Salah  apabila kita mengatakan  bahwa  pendirian  Palang Merah  di  tahun  1863  ataupun  pengadopsian Konvensi
Jenewa  pertama  tahun  1864  menandakan  kelahiran  hukum  perikemanusiaan  sebagaimana  yang  kita  kenal  saat  ini.
Sebagaimana tidak ada satu masyarakat yang tidak memiliki seperangkat aturan, begitu pula tidak pernah ada perang yang
tidak memiliki aturan jelas maupun samar-samar yang mengatur tentang mulai dan berakhirnya suatu permusuhan, serta
bagaimana perang itu dilaksanakan.
HPI  sudah  terintis  sejak  dulu  sebelum Gerakan  berdiri. Pada  awalnya  ada  aturan  tidak  tertulis berdasarkan
kebiasaan yang mengatur tentang sengketa bersenjata. Kemudian perjanjian bilateral (kartel) yang kerincian aturannya
berbeda-beda, lambat-laun mulai diberlakukan. Pihak-pihak yang bertikai kadangkala meratifikasinya setelah permusuhan
berakhir. Ada pula peraturan yang dikeluarkan oleh negara kepada pasukannya (lihat “Kode Lieber”). Hukum yang saat
itu  ada  terbatas  pada  waktu  dan  tempat,  karena  hanya  berlaku  pada  satu  pertempuran  atau  sengketa  tertentu  saja.
Aturannya juga bervariasi, tergantung pada masa, tempat, moral dan keberadaban.
Dari sejak permulaan perang sampai pada munculnya hukum perikemanusiaan yang kontemporer,  lebih dari 500
kartel,  aturan  bertindak  (code  of  conduct),  perjanjian  dan  tulisan-tulisan  lain  yang  dirancang  untuk  mengatur
tentang  pertikaian  telah  dicatat. Termasuk  di  dalamnya  Lieber Code,  yang mulai  berlaku  pada  bulan April  1863  dan
memiliki nilai penting karena menandakan percobaan pertama untuk mengkodifikasi hukum dan kebiasaan perang yang
ada.  Namun,  tidak  seperti  Kovensi  Jenewa  yang  dibentuk  setahun  setelah  itu,  Lieber  Code  ini  tidak memiliki  status
perjanjian  sebagaimana  yang  dimaksudkannya  karena  hanya  diberlakukan  kepada  tentara Union  yang  berperang  pada
waktu Perang Saudara di Amerika.
Ada  dua  pria  memegang  peran  penting  dalam  pembentukan  HPI  selanjutnya,  yaitu  Henry  Dunant  dan
Guillaume-Henri Dufour. Dunant memformulasikan gagasan  tersebut dalam Kenangan dari Solferino (A Memory of
Solferino), diterbitkan  tahun 1862. Berdasarkan pengalamannya dalam perang, General Dufour  tanpa membuang-buang
waktu menyumbangkan dukungan moralnya, salah satunya dengan memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864.
Terhadap  usulan  dari  kelima  anggota  pendiri  ICRC,  Pemerintah  Swiss   mengadakan Konferensi Diplomatik
tahun  1864,  yang  dihadiri  oleh  16  negara  yang mengadopsi Konvensi  Jenewa untuk perbaikan keadaan  yang  luka
dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan pertempuran darat.

Definisi
Hukum Perikemanusiaan  Internasional membentuk  sebagian besar dari Hukum  Internasional Publik dan  terdiri
dari peraturan yang melindungi orang yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara
berperang di masa sengketa bersenjata.
Lebih tepatnya, yang dimaksud ICRC dengan hukum perikemanusiaan yang berlaku di masa sengketa bersenjata
adalah semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian dan kebiasaan internasional yang bermaksud untuk mengatasi segala
masalah  kemanusiaan  yang  timbul  pada  waktu  pertikaian  bersenjata  internasional  maupun  non-internasional;  hukum
tersebut membatasi  atas dasar kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang  terlibat dalam pertikaian untuk memilih cara-cara
dan  alat  peperangan,  serta  memberikan  perlindungan  kepada  orang  yang  menjadi  korban  maupun  harta  benda  yang
terkena dampak pertikaian bersenjata.
Kombatan  hanya  boleh  menyerang  target  militer,  wajib  menghormati  non-kombatan  dan  objek  sipil  dan
menghindari  penggunaan  kekerasan  yang  berlebihan.  Istilah  hukum  perikemanusiaan  internasional,  hukum
humaniter,  hukum  sengketa  bersenjata  dan  hukum  perang  dapat  dikatakan  sama  pengertiannya.  Organisasi
internasional, perguruan tinggi dan bahkan Negara cenderung menggunakan istilah hukum perikemanusiaan internasional
(atau hukum humaniter), sedangkan istilah hukum sengketa bersenjata dan hukum perang biasa digunakan oleh angkatan
bersenjata. Palang Merah Indonesia sendiri menggunakan istilah Hukum Perikemanusiaan Internasional.

Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag
Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) – dikenal juga dengan nama hukum sengketa bersenjata atau hukum
perang – memiliki dua cabang yang terpisah:
>  Hukum Jenewa, atau hukum humaniter, yaitu hukum yang dibentuk untuk melindungi personil militer yang tidak lagi
terlibat dalam peperangan dan mereka yang tidak terlibat secara aktif dalam pertikaian, terutama penduduk sipil;
>  Hukum Den Haag,  atau  hukum  perang,  adalah  hukum  yang menentukan  hak  dan  kewajiban  pihak  yang  bertikai
dalam melaksanakan operasi militer dan membatasi cara penyerangan.

Prinsip
Hukum perikemanusiaan didasarkan pada prinsip pembedaan antara kombatan dan non-kombatan serta antara
objek  sipil  dan  objek  militer.  Prinsip  necessity  atau  kepentingan  kemanusiaan  dan  militer,  perlunya  menjaga
keseimbangan  antara  kepentingan  kemanusiaan  di  satu  pihak  dengan  kebutuhan militer  dan  keamanan  di  pihak  lain.
Prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu (unecessary suffering), yaitu hak pihak yang bertikai untuk memilih
cara dan alat untuk berperang  tidaklah  tak  terbatas, dan para pihak  tidak diperbolehkan mengakibatkan penderitaan dan kehancuran  secara melampaui batas  serta    tidak  seimbang dengan  tujuan  yang hendak dicapai, yaitu melemahkan  atau
menghancurkan  potensi militer  lawan.  Prinsip  proporsionalitas,    mencoba  untuk menjaga  keseimbangan  antara  dua
kepentingan  yang  berbeda,  kepentingan  yang  berdasarkan  pertimbangan  atas  kebutuhan  militer,  dan  yang  lainnya
berdasarkan tuntutan kemanusiaan, apabila hak atau larangannya tidak mutlak.

Aturan Dasar
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari hukum perikemanusian internasional. Aturan-
aturan  ini  tidak memiliki  kekuatan hukum  seperti  sebuah perangkat hukum  internasional  dan  tidak dimaksudkan  untuk
menggantikan perjanjian-perjanjian yang berlaku.
1.   Orang yang tidak atau tidak dapat  lagi mengambil bagian dalam pertikaian  patut memperoleh penghormatan
atas hidupnya, atas keutuhan harga diri dan fisiknya. Dalam setiap kondisi, mereka harus dilidungi dan diperlakukan
secara manusiawi, tanpa pembedaan berdasarkan apa pun.
2.   Dilarang  untuk membunuh  atau melukai  lawan  yang menyerah  atau  yang  tidak  dapat  lagi  ikut  serta  dalam
pertempuran.
3.   Mereka  yang  terluka  dan  yang  sakit  harus  dikumpulkan  dan  dirawat  oleh  pihak  bertikai  yang  menguasai
mereka.  Personil medis,  sarana medis,  transportasi medis  dan  peralatan medis  harus  dilindungi. Lambang  palang
merah atau bulan sabit merah di atas dasar putih adalah  tanda perlindungan atas personil dan objek tersebut di atas,
dan harus dihormati.
4.   Kombatan  dan  penduduk  sipil  yang  berada  di  bawah  penguasaan  pihak  lawan  berhak  untuk  memperoleh
penghormatan atas hidup, harga diri, hak pribadi, keyakinan politik, agama dan keyakinan  lainnya. Mereka harus
dilindungi dari segala bentuk kekerasan ataupun balas dendam. Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya
serta berhak menerima bantuan.
5.   Setiap orang berhak atas jaminan peradilan dan tak seorangpun dapat dituntut untuk bertanggungjawab atas suatu
tindakan yang  tidak dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan sasaran penyiksaan  fisik maupun mental atau
hukuman badan yang kejam yang merendahkan martabat ataupun perlakuan lainnya.
6.   Tidak  satu  pun  pihak  bertikai maupun  anggota  angkatan  bersenjatanya  mempunyai  hak  tak  terbatas  untuk
memilih  cara  dan  alat  berperang.  Dilarang  untuk  menggunakan  alat  dan  cara  berperang  yang  berpotensi
mengakibatkan penderitaan dan kerugian yang tak perlu.
7.   Pihak  bertikai  harus  selalu  membedakan  antara  penduduk  sipil  dan  kombatan  dalam  rangka  melindungi
penduduk  sipil  dan  hak milik mereka.  Penduduk  sipil,  baik  secara  keseluruhan maupun  perseorangan  tidak  boleh
diserang. Penyerangan hanya boleh dilakukan semata-mata kepada objek militer.

HPI dan HAM
Hukum  perikemanusiaan  internasional  dan  hukum  hak  asasi manusia  internasional  (selanjutnya  disebut
hukum HAM) saling melengkapi. Keduanya bermaksud untuk melindungi individu, walaupun dilaksanakan dalam situasi
dan cara yang berbeda. HPI berlaku dalam situasi sengketa bersenjata, sedangkan hukum HAM atau setidaknya sebagian
daripadanya, melindungi individu di setiap saat, dalam masa perang maupun damai. Tujuan dari HPI adalah melindungi
korban dengan berusaha membatasi penderitaan yang diakibatkan oleh perang, hukum HAM bertujuan untuk melindungi
individu dan menjamin perkembangannya.
Kepedulian  utama  HPI  adalah  mengenai  perlakuan  terhadap  individu  yang  jatuh  ke  tangan  pihak  lawan  dan
mengenai  metode  peperangan,  sedangkan  hukum  HAM  pada  intinya  mencegah  perlakuan  semena-mena  dengan
membatasi  kekuasaan  negara  atas    individu.  Hukum  HAM  tidak  bertujuan  untuk mengatur  bagaimana  suatu  operasi
militer dilaksanakan. Untuk memastikan penghormatannya, HPI membentuk suatu mekanisme yang mengadakan sebuah
bentuk pengawasan  terus-menerus atas pelaksanaannya; mekanisme  itu memberi penekanan pada kerjasama antara para
pihak  yang  bersengketa  dengan  penengah  yang  netral,  dengan  tujuan  untuk  mencegah  pelanggaran.  Sebagai
konsekwensinya,  pendekatan  ICRC  yang  perannya menjamin  penghormatan  terhadap HPI memberikan  prioritas  pada
persuasi.
Mekanisme  untuk memonitor  hukum HAM  sangat  bevariasi. Dalam  banyak  kasus,  lembaga  yang  berwenang
dituntut  untuk  menentukan  apakan  sebuah  negara  telah  menghormati  hukum.  Contohnya,  Mahkamah  HAM  Eropa,
setelah penyelesaian pendahuluan oleh seseorang, dapat menyatakan bahwa Konvensi HAM Eropa  telah dilanggar oleh
penguasa negara. Penguasa  ini selanjutnya wajib untuk mengambil  langkah yang perlu untuk memastikan bahwa situasi
internal  itu  sesuai  dengan  persyaratan  yang  diminta  oleh  Konvensi.  Mekanisme  pelaksanaan  HAM  pada  intinya
bermaksud untuk meluruskan segala kerusakan yang terjadi. 

No comments:

Post a Comment

Contributors

Blogger news

manu manchester wall united al-ina