Pages

Blogger templates

Showing posts with label PMR. Show all posts
Showing posts with label PMR. Show all posts

Tuesday, September 10, 2013

Baris Berbaris


Baris Berbaris
PERATURAN BARIS BARIS (P.B.B)
( Bag. I )

Peraturan Baris Berbaris yang digunakan di lingkungan Pramuka ada dua macam yakni Baris berbaris menggunakan tongkat dan tanpa tongkat. Untuk baris berbaris menggunakan tongkat memiliki tata cara tersendiri di lingkungan Pramuka. Adapun baris berbaris tanpa menggunakan tongkat mengikuti tata cara yang telah diatur dalam Peraturan Baris Berbaris milik TNI/POLRI .

Apa itu Baris Baerbaris ?
  1. Baris Berbaris
a.       Pengertian
Baris berbaris adalah suatu ujud latuhan fisik, yang diperlukan guna menanamkan kebiasaan dalam tata cara kehidupan yang diarahkan kepada terbentuknya suatu perwatakan tertentu.
b.      Maksud dan tujuan
1)      Guna menumbuhkan sikap jasmani yang tegap tangkas, rasa disiplin dan rasa tanggung jawab.
2)      Yang dimaksud dengan menumbuhkan sikap jasmani yang tegap tangkas adalah mengarahkan pertumbuhan tubuh yang diperlukan oleh tugas pokok, sehingga secara jasmani dapat menjalankan tugas pokok tersebut dengan sempurna.
3)      Yang dimaksud rasa persatuan adalah adanya rasa senasib sepenanggungan serta ikatan yang sangat diperlukan dalam menjalankan tugas.
4)      Yang dimaksud rasa disiplin adalah mengutamakan kepentingan tugas di atas kepentingan pribadi yang pada hakikatnya tidak lain daripada keikhlasan penyisihan pilihan hati sendiri.
5)      Yang dimaksud rasa tanggung jawab adalah keberanian untuk bertindak yang mengandung resiko terhadap dirinya, tetapi menguntungkan tugas atau sebaliknya tidak mudah melakukan tindakan-tindakan yang akan dapat merugikan.

  1. Aba-aba
a.       Pengertian
Aba-aba adalah suatu perintah yang diberikan oleh seseorang Pemimpin kepada yang dipimpin untuk dilaksanakannya pada waktunya secara serentak atau berturut-turut.
b.      Macam aba-aba
Ada tiga macam aba-aba yaitu :
1)      Aba-aba petunjuk
2)      Aba-aba peringatan
3)      Aba-aba pelaksanaan
1.      Aba-aba petunjuk dipergunakan hanya jika perlu untuk menegaskan maksud daripada aba-aba peringatan/pelaksanaan.
Contoh:
a)      Kepada Pemimpin Upacara-Hormat - GERAK
b)      Untuk amanat-istirahat di tempat - GERAK
2.      Aba-aba peringatan adalah inti perintah yang cukup jelas, untuk dapat dilaksanakan tanpa ragu-ragu.
Contoh:
a)      Lencang kanan - GERAK
(bukan lancang kanan)
b)      Istirahat di tempat - GERAK (bukan ditempat istirahat)
3.      Aba-aba pelaksanaan adalah ketegasan mengenai saat untuk melaksanakan aba-aba pelaksanan yang dipakai ialah:
a)      GERAK
b)      JALAN
c)      MULAI
a.       GERAK: adalah untuk gerakan-gerakan kaki yang dilakukan tanpa meninggalkan tempat dan gerakan-gerakan yang memakai anggota tubuh lain.
Contoh:
 -jalan ditempat          -GERAK
 -siap                            -GERAK
 -hadap kanan              -GERAK
 -lencang kanan            -GERAK
b.      JALAN: adalah utuk gerakan-gerakan kaki yang dilakukan dengan meninggalkan tempat.
Contoh:
 -haluan kanan/kiri                    - JALAN
 -dua langkah ke depan -JALAN
 -satu langkah ke belakang        - JALAN
Catatan:
Apabila gerakan meninggalkan tempat itu tidak dibatasi jaraknya, maka aba-aba harus didahului dengan aba-aba peringatan –MAJU
Contoh:
  -maju                                     - JALAN
  -haluan kanan/kiri                   - JALAN
  -hadap kanan/kiri maju           - JALAN
  -melintang kanan/kiri maju       -J ALAN
Tentang istilah: “maju”
·  Pada dasarnya digunakan sebagai aba-aba peringatan terhadap pasukan dalam keadaan berhenti.
·  Pasukan yang sedang bergerak maju, bilamana harus berhenti dapat diberikan aba-aba HENTI.
Misalnya:
·  Ada aba-aba hadap kanan/kiri maju - JALAN karena dapat pula diberikan aba-aba : hadap kanan/kiri henti GERAK.
·  Ada aba-aba hadap kanan/kiri maju-JALAN karena dapat pula diberikan aba-aba : hadap kanan/kiri henti GERAK.
·  Balik kana maju/JALAN, karena dapat pula diberikan aba-aba : balik kana henti-GERAK.
Tidak dapat diberikan aba-aba langkah tegap maju JALAN, aba-aba belok kanan/kiri maju-JALAN terhadap pasukan yang sedang berjalan dengan langkah biasa, karena tidak dapat diberikan aba-aba langkah henti-GERAK, belok kanan/kiri-GERAK.

Tentang aba-aba : “henti”
Pada dasarnya aba-aba peringatan henti digunakan untuk menghentikan pasukan yang sedang bergerak, namun tidak selamanya aba-aba peringatan henti ini harus diucapkan.
Contoh:
   Empat langkah ke depan –JALAN, bukan barisan – jalan. Setelah selesai pelaksanaan dari maksud aba-aba peringatan, pasukan wajib berhenti tanpa aba-aba berhenti.
c.       MULAI : adalah untuk dipakai pada pelaksanaan perintah yang harus dikerjakan berturut-turut.
Contoh:
   -hitung              -MULAI
   -tiga bersaf kumpul       -MULAI

4.      Cara memberi aba-aba
a)      Waktu memberi aba-aba, pemberi aba-aba harus berdiri dalam sikap sempurna dan menghadap pasukan, terkecuali dalam keadaan yang tidak mengijinkan untuk melakukan itu.
b)      Apabila aba-aba itu berlaku juga untuk si pemberi aba-aba, maka pemberi aba-aba terikat pada tempat yang telah ditentukan untuknya dan tidak menghadap pasukan.
Contoh: Kepada Pembina Upacara – hormat – GERAK
Pelaksanaanya :
·        Pada waktu memberikan aba-aba mengahdap ke arah yang diberi hormat sambil melakukan gerakan penghormatan bersama-sama dengan pasukan.
·        Setelah penghormatan selesai dijawab/dibalas oleh yang menerima penghormatan, maka dalm keadaan sikap sedang memberi hormat si pemberi aba-aba memberikan aba-aba tegak : GERAK dan kembali ke sikap sempurna.
c)      Pada taraf permulaan aba-aba yang ditunjukan kepada pasukan yang sedang berjalan/berlari, aba-aba pelaksanaan gerakannya ditambah 1 (satu) langkah pada waktu berjala, pada waktu berlari ditambah 3 (tiga) langkah.
·        Pada taraf lanjutan, aba-aba pelaksanaan dijatuhkan pada kaki kanan ditambah 2 (dua) langkah untuk berjalan / 4 (empat) langkah untuk berlari.
d)      Aba-aba diucapkan dengan suara nyaring-tegas dan bersemangat.
e)      Aba-aba petunjuk dan peringatan pada waktu pengucapan hendaknya diberi antara.
f)        Aba-aba pelaksanaan pada waktu pengucapan hendaknya dihentakkan.
g)      Antara aba-aba peringatan dan pelaksanaan hendaknya diperpanjang disesuaikan dengan besar kecilnya pasukan.
h)      Bila pada suatu bagian aba-aba diperlukan pembetulan maka dilakukan perintah ULANG !
Contoh: Lencang kanan = Ulangi – siap GERAK

Sumber/ Referensi :
1.   Pedoman Penyelenggaraan Paskibraka - Depdiknas.
2.   Peraturan Baris Berbaris - Pusdiklat TNI-AD

Monday, September 9, 2013

Pertempuran Solferino

Dunant tiba di Solferino pada petang hari tanggal 24 Juni 1859, tepat ketika pertempuran antara kedua pihak tadi baru saja selesai. Sekitar 38 ribu prajurit bergeletakan di medan tempur dalam keadaan terluka, sekarat, atau tewas, dan tidak tampak ada upaya yang berarti yang dilakukan untuk memberikan perawatan kepada mereka. Dalam keadaan terguncang melihat pemandangan itu,Dunant berinisiatif mengerahkan penduduk sipil setempat, terutama kaum perempuan, untuk memberikan pertolongan kepada para prajurit yang terluka dan sakit. Karena persediaan alat-alat dan obat-obatan yang diperlukan tidak memadai, Dunant sendiri mengatur pembelian material yang dibutuhkan itu serta membantu mendirikan rumah sakit darurat. Dia berhasil meyakinkan penduduk setempat untuk melayani para korban luka tanpa melihat di pihak mana mereka bertempur, sesuai dengan slogan “Tutti fratelli” (Kita semua bersaudara) yang diciptakan oleh kaum perempuan dari kota Castiglione delle Stiviere tak jauh dari tempat itu. Dia juga berhasil membujuk pihak Prancis untuk membebaskan dokter-dokter Austria yang mereka tawan.

Kembali diingat publik

Pada bulan September 1895, Georg Baumberger, editor kepala Die Ostschweiz, sebuah surat kabar yang terbit di St. Gall, menulis sebuah artikel tentang pendiri Palang Merah tersebut, yang pernah bertemu dan mengobrol dengannya ketika mereka sedang berjalan-jalan di Heiden sebulan sebelumnya. Artikel ini berjudul “Henri Dunant, pendiri Palang Merah” (Henri Dunant, the founder of the Red Cross) dan muncul di sebuah majalah bergambar terbitan Jerman, Über Land und Meer. Dengan segera artikel ini direproduksi di berbagai media lain di seluruh Eropa. Artikel tersebut mendapat sambutan hangat sehingga Dunant kembali memperoleh perhatian dan dukungan khalayak. Dia kemudian menerima Hadiah Binet-Fendt Swiss dan sebuah surat dari Paus Leo XIII. Berkat bantuan dari janda tsar Rusia, yaitu Maria Feodorovna, dan donasi lain dari berbagai pihak, situasi keuangan Dunant sangat membaik.
Pada tahun 1897, Rudolf Müller, yang saat itu sudah bekerja sebagai guru di Stuttgart, menulis sebuah buku tentang asal-mula Palang Merah. Isi buku ini mengubah sejarah resmi Palang Merah dengan menekankan peran Dunant. Buku ini juga mengikutsertakan teks “Kenangan Solferino.” Dunant mulai berkorespondensi dengan Bertha von Suttner dan menulis banyak sekali artikel dan tulisan lain. Dia terutama aktif menulis tentang hak-hak kaum perempuan. Pada tahun 1897, Dunant memfasilitasi pendirian “Green Cross” (Palang Hijau), sebuah organisasi perempuan yang berumur singkat dan hanya aktif di Brussels.

Mars PMI

LAGU MARS PMI 

palang merah indonesia

sumber kasih umat manusia

warisan luhur nusa & bangsa

wujud nyata mengayom pancasila

gerak juangnya ke seluruh nusa

mendharmakan bakti bagi ampera

tunaikan tugas suci,tujuan pmi,di persasa bunda pertiwi

untuk umat manusia di seluruh dunia

PMI menghantarkan jasa

Tata Cara Apel dan Petugasnya

Tata Cara Apel PMR
Urutan apél yang digunakan dalam PMR

1.Pemimpin apél memasuki lapangan apél.
2.Pemimpin apél menyiapkan barisan.
3.Pembina apél memasuki lapangan apél.
4.Penghormatan kepada Pembina apél dipimpin oleh pemimpin apél.
5.Laporan pemimpin apél kepada pembina apél bahwa apél akan segera dimulai.
6.Pembacaan 7 prinsip dasar Gerakan Palang Merah Internasional.
7.Pembacaan Tribakti Palang Merah Remaja.
8.Menyanyikan lagu Indonesia Raya dilanjutkan dengan Mars Palang Merah Indonesia.
9.Amanat Pembina, peserta diistirahatkan.
10.Peserta disiapkan.
11.Pembacaan doa.
12.Laporan pemimpin apél kepada Pembina apél bahwa apél telah selesai.
13.Penghormatan umum kepada Pembina apél.
14.Pembina apél diperkenankan meninggalkan lapangan apél.
15.Peserta dibubarkan.

Petugas apél
1.Protokol
2.Pemimpin upacara
3.Petugas pembaca 7 prinsip dasar gerakan Palang Merah Internasional
4.Petugas pembaca Tribakti Palang Merah Remaja
5.Petugas dirijen dalam menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’ dan ‘Mars Palang Merah Indonesia’.
6.Selain itu, juga dibutuhkan pembina dan peserta apél.

Thursday, September 5, 2013

Bapak Palang Merah Dunia


Jean Henri Dunant yang juga dikenal dengan nama Henry Dunant lahir 8 Mei 1828 – meninggal 30 Oktober 1910 pada umur 82 tahun, adalah pengusaha dan aktivis sosial warga negara Swiss juga dikenal sebagai Bapak Palang Merah Dunia. Dunant lahir di Jenewa, Swiss, putra pertama dari pengusaha Jean-Jacques Dunant dan istrinya Antoinette Dunant-Colladon. Keluarganya adalah penganut mashab Kalvin (Calvinist) yang taat serta mempunyai pengaruh yang signifikan di kalangan masyarakat Jenewa. Kedua orangtuanya menekankan pentingnya nilai kegiatan sosial. Ayahnya aktif membantu anak yatim-piatu dan narapidana yang menjalani bebas bersyarat, sedangkan ibunya melakukan kegiatan sosial membantu orang sakit dan kaum miskin.

Dunant tumbuh pada masa kebangkitan kesadaran beragama yang dikenal dengan nama Réveil. Pada usia 18 tahun, dia bergabung dengan Perhimpunan Amal Jenewa (Geneva Society for Alms Giving). Pada tahun berikutnya, bersama teman-temannya, dia mendirikan perkumpulan yang disebut ”Thursday Association”, sebuah kelompok anak muda tanpa ikatan keanggotaan resmi yang melakukan pertemuan rutin untuk mempelajari Bibel dan menolong kaum miskin. Waktu senggangnya banyak dia habiskan untuk mengunjungi penjara dan melakukan kegiatan sosial. Pada tanggal 30 November 1852, Dunant mendirikan cabang YMCA di Jenewa. Tiga tahun kemudian, dia berpartisipasi dalam pertemuan Paris yang bertujuan membentuk YMCA menjadi sebuah organisasi internasional.

Pada tahun 1849, ketika berusia 21, Dunant terpaksa meninggalkan Kolese Kalvin (Collège Calvin) karena prestasi akademisnya buruk. Dia kemudian menjadi pekerja magang di perusahaan penukaran uang bernama Lullin et Sautter. Setelah masa magangnya selesai dengan prestasi baik, dia diangkat sebagai karyawan bank tersebut. Pada tahun 1853, Dunant mengunjungi Aljazair, Tunisia, dan Sisilia karena ditugaskan oleh perusahaan yang melayani “wilayah-wilayah jajahan Setif”, yaitu perusahaan bernama Compagnie genevoise de Colonies de Sétif. Meskipun pengalamannya kurang, Dunant berhasil menyelesaikan penugasan tersebut dengan memuaskan.

Pada tahun 1859 Jean Henri Dunant melakukan perjalanan untuk urusan bisnis. Dunant tiba di Solferino pada petang hari tanggal 24 Juni 1859, tepat ketika pertempuran antara kedua pihak tadi baru saja selesai. Dia menyaksikan akibat-akibat dari Pertempuran Solferino, sebuah lokasi yang dewasa ini merupakan bagian Italia. Perang mengerikan antara pasukan Prancis dan Italia melawan pasukan Austria di Solferino, Italia Utara pada tanggal 24 Juni 1859. Tidak kurang 40.000 tentara terluka menjadi korban perang, sementara bantuan medis tidak cukup merawat korban sebanyak itu. Tergetar penderitaan tentara yang terluka, Henry Dunant bersama penduduk setempat mengerahkan bantuan menolong mereka.

Sekembalinya ke Jenewa pada awal bulan Juli, Dunant memutuskan menulis sebuah buku tentang pengalamannya itu, yang kemudian dia beri judul Un Souvenir de Solferino (Kenangan Solferino). Buku ini diterbitkan pada tahun 1862 dengan jumlah 1.600 eksemplar, yang dicetak atas biaya Dunant sendiri. Henry Dunant mengajukan 2 gagasan. Pertama, membentuk organisasi kemanusiaan internasional yg dapat dipersiapkan pendiriannya pada masa damai untuk menolong prajurit yg terluka di medan perang. Kedua, mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yg cedera dan sukarelawan serta organisasinya yg menolong saat terjadinya perang.

Pada 1863 Henry Dunant bersama keempat kawannya merealisasi gagasan tersebut dengan mendirikan komite internasional untuk nantuan para tentara yang cedera, sekarang disebut Komite Internasional Palang Merah atau Committee of The Red Cross (ICRC) merupakan lembaga kemanusiaan bersifat mandiri, sebagai penengah dan netral pada tahun 1863. Dalam perkembangannya Palang Merah Internasional juga memiliki Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau International Federation of Red Cross dan Red Crescent (IFRC).

Semangat Henry Dunant inilah yang mengilhami terbentuknya Perhimpunan Nasional Palang Merah Nasional dan Bulan Sabit Merah yang didirikan hampir di setiap negara di seluruh dunia berjumlah 176 perhimpunan nasional. Sedang gagasan kedua Henry Dunant direalisasi Pemerintah Swiss dengan mengadakan
konferensi Jenewa dengan menghasilkan Konvensi Jenewa (1864) yang terus dikembangkan sehingga dikenal sebagai Konvensi Jenewa 1949. Pada tahun 1901, dia menerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang pertama, bersama dengan Frédéric Passy.

Jean Henri Dunant meninggal dunia pada tanggal 30 Oktober 1910, dan kata-kata terakhirnya ialah “Kemana lenyapnya kemanusiaan?” Sesuai keinginannya, Dunant dikuburkan tanpa upacara di Kompleks Pemakaman Sihlfeld di Zurich. Dalam surat wasiatnya, dia mendonasikan sejumlah uang untuk menyediakan satu “ranjang gratis” di panti jompo di Heiden tersebut, yang harus selalu tersedia untuk warga miskin kawasan itu. Dia juga memberikan sejumlah uang, melalui akte notaris, kepada teman-temannya dan kepada organisasi amal di Norwegia dan Swiss.

Hari ulang tahunnya, 8 Mei, dirayakan sebagai Hari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Sedunia (''World Red Cross and Red Crescent Day''). Panti jompo di Heiden yang dulu menampungnya itu sekarang menjadi Museum Henry Dunant. Di Jenewa dan sejumlah kota lain ada banyak sekali jalan, lapangan, dan sekolah yang dinamai dengan namanya. Medali Henry Dunant, yang dianugerahkan setiap dua tahun oleh Komisi Tetap Gerakan Palang Merah dan Palang Merah Internasional, merupakan penghargaan tertinggi yang dianugerahkan oleh Gerakan.

Berdirinya Palang Merah di Indonesia sebetulnya sudah dimulai sebelum Perang Dunia II, tepatnya 12 Oktober 1873. Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Palang Merah di Indonesia dengan nama Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (NERKAI) yang kemudian dibubarkan pada saat pendudukan Jepang. Perjuangan mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI) diawali 1932. Kegiatan tersebut dipelopori dr RCL Senduk dan dr Bahder Djohan dengan membuat rancangan pembentukan PMI.

Rancangan tersebut mendapat dukungan luas dari kalangan terpelajar Indonesia dan diajukan ke dalam Sidang Konferensi Narkei pada 1940, akan tetapi ditolak mentah-mentah. Rancangan tersebut disimpan menunggu saat yang tepat. Seperti tak kenal menyerah pada saat pendudukan Jepang mereka kembali mencoba untuk membentuk Badan Palang Merah Nasional, namun sekali lagi upaya itu mendapat halangan dari Pemerintah Tentara Jepang hingga untuk kedua kalinya rancangan tersebut disimpan.

Proses pembentukan PMI dimulai 3 September 1945, saat Presiden Soekarno memerintahkan Dr Buntaran (Menkes RI Kabinet I) membentuk badan Palang Merah Nasional. Dibantu Panitia lima orang terdiri atas dr R Mochtar (Ketua) dr Bahder Djohan (Penulis) dan 3 anggota : dr Djuhana, dr Marzuki, dr Sitanala, mempersiapkan terbentuknya Perhimpunan Palang Merah Indonesia. Tanggal 17 September 1945 terbentuklah PMI dan tanggal bersejarah itu hingga saat ini dikenal sebagai Hari PMI.

Wednesday, September 4, 2013

CODE OF CONDUCT & SAFER ACCESS


Code of Conduct
Code  of  conduct  atau  kode  perilaku  adalah  Etika  dan  Aturan  Main  Antara  Badan  Kemanusiaan
Internasional  dalam Kegiatan Bantuan Kemanusiaan. Merupakan  rumusan  dari  hasil Kesepakatan  antara  7(tujuh)
Badan Kemanusiaan  Internasional yaitu  :    ICRC, IFRC, Caritas  International,  International Save  the Children, Lutheran
World Federation, Oxfam dan World Council of Churches. Kesepakatan tersebut berupa ketentuan dasar yang mengatur
standardisasi Perilaku Badan Kemanusiaan  Internasional serta Pekerja Kemanusiaan untuk menjamin  Independensi dan
Efektifitas dalam penyelenggaraan kegiatan kemanusiaan
Agar penerapan menyeluruh dapat diterapkan, maka Code of Conduct ini diadopsi oleh Federasi melalui General
Assembly and The Council of Delegates (Birmingham, 1993) dan International Conference (Geneva, 1995);
Code of  conduct  terdiri  dari  10(sepuluh) Prinsip Dasar  berkenaan  dengan Humanitarian Relief Operation  serta
3(tiga)  Annex  yang mengatur  hubungan  antara  Badan/Organisasi Kemanusiaan  dengan  Pemerintah  Setempat, Negara
Donor  dan  Organisasi  Antar  Negara  khususnya  pada  saat  bencana.  Karena  prinsipnya  yang  mengikat  dan  harus
diterapkan secara nyata oleh personel  lembaga yang bersangkutan, maka bagi Federasi,  tugas seorang anggota Delegasi
Federasi  jika ditempatkan di  suatu negara, maka  ia  harus mensosialisasikan Code of Conduct  ini kepada Perhimpunan
Nasional dimana ia ditugaskan. 
Adapun kesepuluh kode perilaku tersebut adalah :
1.  Kewajiban kemanusiaan adalah prioritas utama.
-  Pengakuan  atas  Hak  Korban  Bencana/Konflik  yaitu  –  Hak  Untuk  Memperoleh  Bantuan  Kemanusiaan  –
dimanapun ia berada
-  Komitment  untuk  menyediakan  Bantuan  Kemanusiaan  kepada  korban  bencana/konflik,  diamanapun  atau
kapanpun ia diperlukan
-  Akses terhadap lokasi bencana/konflik dan terhadap korban tidak dihalang-halangi
-  Dalam memberikan bantuan kemanusiaan tidak menjadi bagian dari suatu kegiatan politik atau partisan
2.  Bantuan  diberikan  tanpa  pertimbangan  ras,  kepercayaan  ataupun  kebangsaan  dari  penerima  bantuan  atau  pun
perbedaan dalam bentuk apa pun.
-  Bantuan kemanusiaan diperhitungkan berdasarkan kebutuhan semata
-  Proportional
-  Mengakui  peranan  penting  Kaum  Wanita  dan  menjamin  bahwa  peranan  tersebut  harus  didukung  dan
didayagunakan
-  Terjaminnya  akses  terhadap  sumber-sumber  daya  yang  diperlukan  serta  akses  yang  seimbang  terhadap  korban
bencana/konflik
3.  Bantuan tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik dan agama.
-  Tidak mengikuti suatu pendirian politik atau keagamaan tertentu
-  Bantuan diberikan kepada Individu, Keluarga dan Kelompok Masyarakat yang memerlukan bantuan
-  tidak tergantung/memandang pada predikat apa yang melekat pada penerima bantuan
4.  Tidak menjadi alat kebijakan pemerintah luar negeri.
- Badan  Kemanusiaan  Internasional  harus  dapat  menjamin  Independensinya  terhadap  Negara  Donor  yang
mempercayakan penyaluran bantuannya;
- Badan Kemanusiaan Internasional harus dapat mengupayakan lebih dari satu sumber bantuan
5.  Menghormati kebiasaan dan adat istiadat.
- Tidak bertentangan dengan adat istiadat setempat
6.  Membangun respon bencana sesuai kemampuan setempat.
- Memanfaatkan keberadaan LSM serta tenaga lokal yang tersedia dalam implementasi kegiatan
- Pengadaan komoditas bantuan serta Jasa dari sumber-sumber setempat;
- Mengutamakan koordinasi
7.  Melibatkan penerima bantuan dalam proses manajemen bencana.
- Mengupayakan partisipasi masyarakat hingga pemanfaatan sumber-sumber daya masyarakat yang tersedia;
8.  Bantuan yang diberikan hendaknya untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana di kemudian hari.
- Bantuan  kemanusiaan  diberikan,  tidak  semata-mata  memenuhi  kebutuhan  dasar,  tetapi  juga  diupayakan  agar 
dapat mengurangi tingkat kerentanan masyarakat (korban bencana/konflik) di masa depan
- Memperhatikan kepentingan lingkungan dalam merekayasa dan implementasi program-program
- Menghindari sikap ketergantungan yang berkepanjangan terhadap bantuan-bantuan eksternal
9.  Bertanggung-jawab kepada pihak yang kita bantu dan yang memberi kita bantuan.
- Bantuan  kemanusiaan harus dapat dipertanggungjawabkan, baik  kepada mereka yang berhak menerimanya dan
kepada pihak Donor
- Bantuan  kemanusiaan  harus  dikelola  secara  terbuka/transparansi,  baik  dari  perspective  Finansial  maupun
Efektifitas kegiatan - Mengakui kewajiban Pelaporan dan memastikan upaya monitoring telah dilakukan sebagaimana mestinya
10.  Dalam kegiatan informasi, publikasi dan promosi, harus memandang korban sebagai manusia yang bermartabat. 
- Mengakui martabat daripada korban bencana/konflik
-  Dalam  publikasi,  tidak  hanya menonjolkan  tingkat  penderitaan  korban  bencana,  tetapi  juga  perlu menonjolkan
upaya/kapasitas masyarakat dalam mengatasi penderitaan mereka
-  Kerjasama dengan Media dalam rangka meningkatkan perhatian dan kontribusi masyarakat – tidak didasarkan pada
adanya tekanan, vested interest atau publisitas baik dari lingkungan internal maupun eksternal
-  Dalam media coverage – diupayakan tidak menimbulkan kesan persaingan dengan Badan Kemanusiaan lainnya
-  Tidak merusak situasi/atmosphere ditempat dimana Badan Kemanusiaan itu bekerja, demikian pula keamanan dari
para Pekerjanya

Safer Access
Pada saat konflik terjadi, kerawanan menjadi korban bagi mereka yang memberi bantuan adalah sebuah hal yang
sulit dihindarkan. Setiap saat pemberi bantuan dapat  turut menjadi korban pertikaian. Misalnya, disandera atau ditawan,
terkena peluru,  senjata  tajam  hingga mortir  secara  tidak disengaja dan  terbunuh. Terkenanya pemberi bantuan menjadi
korban, tentu akan berpengaruh bagi kelancaran sampainya bantuan bagi yang membutuhkan. Untuk itu, pada saat konflik
atau perang terjadi, pemberi bantuan harus memperhatikan betul bagaimana ia bisa selamat dan terhindar dari akibat yang
membuatnya dapat  turut menjadi korban. Bagaimana memperoleh keamanan dan bagaimana  tindakan aman yang harus
dilakukan  oleh  pemberi  bantuan  di  situasi  konflik  inilah  yang  disebut  dengan  safer  access.  Intinya  dapat  disimpulkan
bahwa  safer  access  adalah Kerangka kerja yang disusun  agar pemberi bantuan dapat memiliki  AKSES YANG LEBIH
BAIK  terhadap  populasi  yang  terkena  dampak  konflik  dan  dapat  BEKERJA  LEBIH  AMAN  dalam  situasi  konflik.
Kerangka kerja tersebut terdiri dari pedoman bagi organisasi dan individu agar lebih aman bekerja dalam situasi konflik
Ada tiga hal yang menjadi kerangka kerja tersebut yaitu :
1.  Keamanan pemberi bantuan dalam konflik
Secara umum,  langkah-langkah keamanan disusun untuk: mencegah  insiden, mengurangi  resiko dan membatasi
kerusakan.  Artinya,  kalaupun  insiden  tidak  dapat  dihindarkan  (misalnya  dtangkap  oleh  salah  satu  kelompok  yang
bertikai), paling tidak, kita harus berupaya agar dalam insiden tersebut dapat berlaku tepat agar resiko lebih jauh dapat
terhindar.  Termasuk  tentunya,  membatasi  kerusakan  lebih  jauh  terhadap  kendaran  atau  bangunan  (terutama  yang
digunakan dalam operasi kemanusiaan) yang ada. 
Kunci dari bagaimana dapat berlaku  tepat,  tentu  sebelumnya harus mengerti dan memahami bagaimana  situasi
konflik yang  terjadi. Pemberi bantuan harus mengetahui peta konflik dan peta situasi atau  lokasi yang ada. Misalnya,
mengetahui  siapa  yang  berkonflik,  dimana  lokasi-lokasi  yang  menjadi  basis  pertahanan  dan  daerah  konflik  terbuka
terjadi, dimana lokasi pengungsi, mengetahui jalur atau akses jalur wilayah yang aman dan sebagainya. 
2.  Dasar hukum dan kebijakan gerakan
Andaikan yang memberi bantuan pada saat konflik adalah PMI, maka anggota PMI selain harus mengetahui tipe-
tipe  konflik  maka  harus  mengetahui  juga,  apa  dasar  hukum  yang  dipakai  oleh  PMI  untuk  bertindak  dalam  situasi
konflik. Selain  itu,   pemahaman  akan hak, kewajiban dan keterbatasan PMI di saat konflik dan aturan  lain yang  terkait
dengan  posisi  sebagai  anggota  PMI  dalam  situasi  konflik  juga menjadi  sebuah  hal  yang  harus  diketahui.  Selain  itu,
tentunya  relevansi  penerapan  dasar  hukum  internasional  dan  internasional  bagi  pemberian  bantuan  merupakan
pengetahuan dasar yang melekat. 
Dasar Hukum Internasional meliputi :
A. Konvensi Jenewa (1949)
I.  Melindungi anggota angkatan bersenjata yang luka dan yang sakit dalam pertempuran di darat
II.  Melindungi anggota angkatan bersenjata yang luka, sakit dan mengalami kapal karam dalam pertempuran di laut
III.  Melindungi para tawanan perang
IV.  Melindungi penduduk sipil 
B. Protokol Tambahan (1977)
I.  Protokol I : 
   Memperkuat perlindungan kepada para korban konflik bersenjata internasional
II.  Protokol II: 
   Memperkuat perlindungan kepada para korban konflik bersenjata non-internasional 
III.  Protokol III (2005)
Pengesahan dan pengakuan Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam  Gerakan
Dasar Hukum Nasional meliputi :
1.  UU No 59 tahun 1958 – keikutsertaan negara RI dalam Konvensi-Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949
2.  Keppres RI no 25 tahun 1950 – pengesahan dan pengakuan Perhimpunan Nasional PMI
3.  Keppres RI no 246 tahun 1963 – tugas pokok dan kegiatan PMI
4.  AD/ART PMI
5.  Garis-Garis Kebijakan Palang Merah Indonesia
6.  Protap Tanggap Darurat Bencana PMI 3.  Tujuh Pilar
Adalah  “Pedoman/  acuan  yang  efektif  untuk  menciptakan  kesadaran  personal  pemberi  bantuan  pada  semua
tingkat  tentang  berbagai  hal  penting  yang  harus  dipertimbangkan  pada  saat  akan  memberikan  perlindungan  maupun
bantuan bagi para korban konflik”. Ketujuh pilar itu meliputi :
a.  Penerimaan terhadap Organisasi
Organisasi bantuan kita harus „diterima oleh lingkungan dimana operasi kemanusiaan dilakukan.  
b.  Penerimaan terhadap Individu dan Tingkah Laku Pribadi
Tingkah  laku  pribadi  dapat  berpengaruh  kepada  penerimaan  terhadap  individu  dan  berpengaruh  pula  pada
penerimaan terhadap organisasi.
c.  Identifikasi
Tanda pengenal bahwa kita menjadi anggota organisasi harus selalu melekat.  
d.  Komunikasi Internal
Informasi internal hendaknya mengalir cepat, tepat dan akurat. Cepatnya informasi dapat mengantisipasi kejadian
yang tidak diinginkan. Untuk itu penting adanya membuat perencanaan.
e.  Komunikasi Eksternal
Komunikasi  atau  informasi  dengan  pihak  luar  Gerakan  secara  terbuka  tanpa  batas  dapat  membahayakan
keamanan  kita,  sebab  dapat  disalahgunakan  untuk  propaganda  atau  dapat menimbulkan  citra  bahwa   Gerakan
adalah  organisasi  yang  memihak.  Untuk  itu,  individu  pemberi  bantuan  tidak  boleh  memberitahukan  atau
menyampaikan apapun selain hanya „apa yang dilakukan dan bukan apa yang dirasakan, dilihat, didengar dan 
sebagainya.
f.  Peraturan Keamanan
Peraturan harus ditandatangani oleh setiap  anggota, Mempunyai suatu  sistim untuk memastikan  terlaksananya
peraturan tersebut dan Peraturan itu haruslah selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan situasi.
g.  Tindakan Perlindungan
Memilih tindakan perlindungan aktif atau pasif atau kombinasi keduanya dan adanya jaminan asuransi.
 10.  Markas
11.  Upaya Kesehatan Transfusi Darah
12.  Hubungan dan Kerjasama
13.  Perbendaharaan
14.  Pembinaan 
15.  Pembekuan Pengurus
16.  Penghargaan
17.  Perubahan  Anggaran  Dasar  /  Anggaran
Rumah Tangga 

HUKUM PERIKEMANUSIAAN INTERNASIONAL



Sejarah HPI
Salah  apabila kita mengatakan  bahwa  pendirian  Palang Merah  di  tahun  1863  ataupun  pengadopsian Konvensi
Jenewa  pertama  tahun  1864  menandakan  kelahiran  hukum  perikemanusiaan  sebagaimana  yang  kita  kenal  saat  ini.
Sebagaimana tidak ada satu masyarakat yang tidak memiliki seperangkat aturan, begitu pula tidak pernah ada perang yang
tidak memiliki aturan jelas maupun samar-samar yang mengatur tentang mulai dan berakhirnya suatu permusuhan, serta
bagaimana perang itu dilaksanakan.
HPI  sudah  terintis  sejak  dulu  sebelum Gerakan  berdiri. Pada  awalnya  ada  aturan  tidak  tertulis berdasarkan
kebiasaan yang mengatur tentang sengketa bersenjata. Kemudian perjanjian bilateral (kartel) yang kerincian aturannya
berbeda-beda, lambat-laun mulai diberlakukan. Pihak-pihak yang bertikai kadangkala meratifikasinya setelah permusuhan
berakhir. Ada pula peraturan yang dikeluarkan oleh negara kepada pasukannya (lihat “Kode Lieber”). Hukum yang saat
itu  ada  terbatas  pada  waktu  dan  tempat,  karena  hanya  berlaku  pada  satu  pertempuran  atau  sengketa  tertentu  saja.
Aturannya juga bervariasi, tergantung pada masa, tempat, moral dan keberadaban.
Dari sejak permulaan perang sampai pada munculnya hukum perikemanusiaan yang kontemporer,  lebih dari 500
kartel,  aturan  bertindak  (code  of  conduct),  perjanjian  dan  tulisan-tulisan  lain  yang  dirancang  untuk  mengatur
tentang  pertikaian  telah  dicatat. Termasuk  di  dalamnya  Lieber Code,  yang mulai  berlaku  pada  bulan April  1863  dan
memiliki nilai penting karena menandakan percobaan pertama untuk mengkodifikasi hukum dan kebiasaan perang yang
ada.  Namun,  tidak  seperti  Kovensi  Jenewa  yang  dibentuk  setahun  setelah  itu,  Lieber  Code  ini  tidak memiliki  status
perjanjian  sebagaimana  yang  dimaksudkannya  karena  hanya  diberlakukan  kepada  tentara Union  yang  berperang  pada
waktu Perang Saudara di Amerika.
Ada  dua  pria  memegang  peran  penting  dalam  pembentukan  HPI  selanjutnya,  yaitu  Henry  Dunant  dan
Guillaume-Henri Dufour. Dunant memformulasikan gagasan  tersebut dalam Kenangan dari Solferino (A Memory of
Solferino), diterbitkan  tahun 1862. Berdasarkan pengalamannya dalam perang, General Dufour  tanpa membuang-buang
waktu menyumbangkan dukungan moralnya, salah satunya dengan memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864.
Terhadap  usulan  dari  kelima  anggota  pendiri  ICRC,  Pemerintah  Swiss   mengadakan Konferensi Diplomatik
tahun  1864,  yang  dihadiri  oleh  16  negara  yang mengadopsi Konvensi  Jenewa untuk perbaikan keadaan  yang  luka
dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan pertempuran darat.

Definisi
Hukum Perikemanusiaan  Internasional membentuk  sebagian besar dari Hukum  Internasional Publik dan  terdiri
dari peraturan yang melindungi orang yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara
berperang di masa sengketa bersenjata.
Lebih tepatnya, yang dimaksud ICRC dengan hukum perikemanusiaan yang berlaku di masa sengketa bersenjata
adalah semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian dan kebiasaan internasional yang bermaksud untuk mengatasi segala
masalah  kemanusiaan  yang  timbul  pada  waktu  pertikaian  bersenjata  internasional  maupun  non-internasional;  hukum
tersebut membatasi  atas dasar kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang  terlibat dalam pertikaian untuk memilih cara-cara
dan  alat  peperangan,  serta  memberikan  perlindungan  kepada  orang  yang  menjadi  korban  maupun  harta  benda  yang
terkena dampak pertikaian bersenjata.
Kombatan  hanya  boleh  menyerang  target  militer,  wajib  menghormati  non-kombatan  dan  objek  sipil  dan
menghindari  penggunaan  kekerasan  yang  berlebihan.  Istilah  hukum  perikemanusiaan  internasional,  hukum
humaniter,  hukum  sengketa  bersenjata  dan  hukum  perang  dapat  dikatakan  sama  pengertiannya.  Organisasi
internasional, perguruan tinggi dan bahkan Negara cenderung menggunakan istilah hukum perikemanusiaan internasional
(atau hukum humaniter), sedangkan istilah hukum sengketa bersenjata dan hukum perang biasa digunakan oleh angkatan
bersenjata. Palang Merah Indonesia sendiri menggunakan istilah Hukum Perikemanusiaan Internasional.

Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag
Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) – dikenal juga dengan nama hukum sengketa bersenjata atau hukum
perang – memiliki dua cabang yang terpisah:
>  Hukum Jenewa, atau hukum humaniter, yaitu hukum yang dibentuk untuk melindungi personil militer yang tidak lagi
terlibat dalam peperangan dan mereka yang tidak terlibat secara aktif dalam pertikaian, terutama penduduk sipil;
>  Hukum Den Haag,  atau  hukum  perang,  adalah  hukum  yang menentukan  hak  dan  kewajiban  pihak  yang  bertikai
dalam melaksanakan operasi militer dan membatasi cara penyerangan.

Prinsip
Hukum perikemanusiaan didasarkan pada prinsip pembedaan antara kombatan dan non-kombatan serta antara
objek  sipil  dan  objek  militer.  Prinsip  necessity  atau  kepentingan  kemanusiaan  dan  militer,  perlunya  menjaga
keseimbangan  antara  kepentingan  kemanusiaan  di  satu  pihak  dengan  kebutuhan militer  dan  keamanan  di  pihak  lain.
Prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu (unecessary suffering), yaitu hak pihak yang bertikai untuk memilih
cara dan alat untuk berperang  tidaklah  tak  terbatas, dan para pihak  tidak diperbolehkan mengakibatkan penderitaan dan kehancuran  secara melampaui batas  serta    tidak  seimbang dengan  tujuan  yang hendak dicapai, yaitu melemahkan  atau
menghancurkan  potensi militer  lawan.  Prinsip  proporsionalitas,    mencoba  untuk menjaga  keseimbangan  antara  dua
kepentingan  yang  berbeda,  kepentingan  yang  berdasarkan  pertimbangan  atas  kebutuhan  militer,  dan  yang  lainnya
berdasarkan tuntutan kemanusiaan, apabila hak atau larangannya tidak mutlak.

Aturan Dasar
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari hukum perikemanusian internasional. Aturan-
aturan  ini  tidak memiliki  kekuatan hukum  seperti  sebuah perangkat hukum  internasional  dan  tidak dimaksudkan  untuk
menggantikan perjanjian-perjanjian yang berlaku.
1.   Orang yang tidak atau tidak dapat  lagi mengambil bagian dalam pertikaian  patut memperoleh penghormatan
atas hidupnya, atas keutuhan harga diri dan fisiknya. Dalam setiap kondisi, mereka harus dilidungi dan diperlakukan
secara manusiawi, tanpa pembedaan berdasarkan apa pun.
2.   Dilarang  untuk membunuh  atau melukai  lawan  yang menyerah  atau  yang  tidak  dapat  lagi  ikut  serta  dalam
pertempuran.
3.   Mereka  yang  terluka  dan  yang  sakit  harus  dikumpulkan  dan  dirawat  oleh  pihak  bertikai  yang  menguasai
mereka.  Personil medis,  sarana medis,  transportasi medis  dan  peralatan medis  harus  dilindungi. Lambang  palang
merah atau bulan sabit merah di atas dasar putih adalah  tanda perlindungan atas personil dan objek tersebut di atas,
dan harus dihormati.
4.   Kombatan  dan  penduduk  sipil  yang  berada  di  bawah  penguasaan  pihak  lawan  berhak  untuk  memperoleh
penghormatan atas hidup, harga diri, hak pribadi, keyakinan politik, agama dan keyakinan  lainnya. Mereka harus
dilindungi dari segala bentuk kekerasan ataupun balas dendam. Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya
serta berhak menerima bantuan.
5.   Setiap orang berhak atas jaminan peradilan dan tak seorangpun dapat dituntut untuk bertanggungjawab atas suatu
tindakan yang  tidak dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan sasaran penyiksaan  fisik maupun mental atau
hukuman badan yang kejam yang merendahkan martabat ataupun perlakuan lainnya.
6.   Tidak  satu  pun  pihak  bertikai maupun  anggota  angkatan  bersenjatanya  mempunyai  hak  tak  terbatas  untuk
memilih  cara  dan  alat  berperang.  Dilarang  untuk  menggunakan  alat  dan  cara  berperang  yang  berpotensi
mengakibatkan penderitaan dan kerugian yang tak perlu.
7.   Pihak  bertikai  harus  selalu  membedakan  antara  penduduk  sipil  dan  kombatan  dalam  rangka  melindungi
penduduk  sipil  dan  hak milik mereka.  Penduduk  sipil,  baik  secara  keseluruhan maupun  perseorangan  tidak  boleh
diserang. Penyerangan hanya boleh dilakukan semata-mata kepada objek militer.

HPI dan HAM
Hukum  perikemanusiaan  internasional  dan  hukum  hak  asasi manusia  internasional  (selanjutnya  disebut
hukum HAM) saling melengkapi. Keduanya bermaksud untuk melindungi individu, walaupun dilaksanakan dalam situasi
dan cara yang berbeda. HPI berlaku dalam situasi sengketa bersenjata, sedangkan hukum HAM atau setidaknya sebagian
daripadanya, melindungi individu di setiap saat, dalam masa perang maupun damai. Tujuan dari HPI adalah melindungi
korban dengan berusaha membatasi penderitaan yang diakibatkan oleh perang, hukum HAM bertujuan untuk melindungi
individu dan menjamin perkembangannya.
Kepedulian  utama  HPI  adalah  mengenai  perlakuan  terhadap  individu  yang  jatuh  ke  tangan  pihak  lawan  dan
mengenai  metode  peperangan,  sedangkan  hukum  HAM  pada  intinya  mencegah  perlakuan  semena-mena  dengan
membatasi  kekuasaan  negara  atas    individu.  Hukum  HAM  tidak  bertujuan  untuk mengatur  bagaimana  suatu  operasi
militer dilaksanakan. Untuk memastikan penghormatannya, HPI membentuk suatu mekanisme yang mengadakan sebuah
bentuk pengawasan  terus-menerus atas pelaksanaannya; mekanisme  itu memberi penekanan pada kerjasama antara para
pihak  yang  bersengketa  dengan  penengah  yang  netral,  dengan  tujuan  untuk  mencegah  pelanggaran.  Sebagai
konsekwensinya,  pendekatan  ICRC  yang  perannya menjamin  penghormatan  terhadap HPI memberikan  prioritas  pada
persuasi.
Mekanisme  untuk memonitor  hukum HAM  sangat  bevariasi. Dalam  banyak  kasus,  lembaga  yang  berwenang
dituntut  untuk  menentukan  apakan  sebuah  negara  telah  menghormati  hukum.  Contohnya,  Mahkamah  HAM  Eropa,
setelah penyelesaian pendahuluan oleh seseorang, dapat menyatakan bahwa Konvensi HAM Eropa  telah dilanggar oleh
penguasa negara. Penguasa  ini selanjutnya wajib untuk mengambil  langkah yang perlu untuk memastikan bahwa situasi
internal  itu  sesuai  dengan  persyaratan  yang  diminta  oleh  Konvensi.  Mekanisme  pelaksanaan  HAM  pada  intinya
bermaksud untuk meluruskan segala kerusakan yang terjadi. 

Sejarah PMR

A. Sejarah GerakanPerang Solferino  Pada  tanggal  24  Juni  1859  di Solferino,  sebuah  kota  kecil  yang  terletak  di  daratan  rendah Propinsi Lambordi,  sebelah utara Italia, berlangsung pertempuran sengit antara prajurit Perancis dan Austria. Pertempuran yang berlangsung  sekitar 16  jam dan melibatkan 320.000 orang prajurit  itu, menelan puluhan  ribu korban  tewas dan  luka-luka. Sekitar 40  ribu orang meninggal dalam pertempuran.   Banyaknya  prajurit  yang  menjadi  korban,  dimana  pertempuran  berlangsung  antar  kelompok  yang  saling  berhadapan, memang merupakan karakteristik perang yang berlangsung pada jaman itu. Tak ubahnya seperti pembantaian  massal yang menghabisi ribuan orang pada satu waktu. Terlebih lagi, komandan militer tidak memperhatikan kepentingan  orang yang terluka untuk mendapatkan pertolongan dan perawatan. Mereka hanya dianggap sebagai „makanan meriam.
Ribuan  mayat  tumpang  tindih  dengan  mereka  yang  terluka  tanpa  pertolongan.  Jumlah  ahli  bedah  pun  sangat  tidak
mencukupi. Saat  itu, hanya ada empat orang dokter hewan yang merawat seribu kuda serta seorang dokter untuk seribu
orang. Pertempuran tersebut pada akhirnya dimenangkan oleh Perancis.
Akibat  perang  dengan  pemandangannya  yang  sangat  mengerikan  itu,  menggugah  Henry  Dunant,  seorang
pengusaha  berkebangsaan  Swiss  (1828  –  1910)  yang  kebetulan  lewat  dalam  perjalanannya  untuk  menemui  Kaisar
Napoleon  III  guna  keperluan  bisnis. Namun menyaksikan  pemandangan  yang  sangat mengerikan  akibat  pertempuran, 
membuat kesedihannya muncul dan terlupa akan tujuannya bertemu dengan kaisar. Dia mengumpulkan orang-orang dari
desa-desa sekitarnya dan tinggal di sana selama tiga hari untuk sungguh-sungguh menghabiskan waktunya guna merawat
orang yang terluka. 
Ribuan  orang  yang  terluka  tanpa  perawatan  dan  dibiarkan mati  di  tempat  karena  pelayanan medis  yang  tidak
mencukupi  jumlahnya dan  tidak memadai dalam  tugas/keterampilan, membuatnya  sangat  tergugah. Kata-kata bijaknya
yang  diungkapkan  saat  itu,  Siamo  tutti  fratelli  (Kita  semua  saudara), membuka  hati  para  sukarelawan  untuk melayani
kawan maupun lawan tanpa membedakannya. 

Komite Internasional
Sekembalinya Dunant ke Swiss, membuatnya  terus dihantui oleh mimpi buruk yang disaksikannya di Solferino.
Untuk menghilangkan bayangan buruk dalam pikirannya dan untuk menarik perhatian dunia  akan kenyataan kejamnya
perang, ditulisnya sebuah buku dan diterbitkannya dengan biaya sendiri pada bulan November 1862. Buku itu diberi judul
“Kenangan dari Solferino” (Un Souvenir De Solferino). 
Buku itu mengandung dua gagasan penting yaitu:
·  Perlunya mendirikan perhimpunan bantuan di setiap negara yang terdiri dari sukarelawan untuk merawat orang
yang terluka pada waktu perang.
·  Perlunya  kesepakatan  internasional  guna  melindungi  prajurit  yang  terluka  dalam medan  perang  dan  orang-
orang yang merawatnya serta memberikan status netral kepada mereka.
Selanjutnya Dunant mengirimkan buku itu kepada keluarga-keluarga terkemuka di Eropa dan juga para pemimpin
militer,  politikus,  dermawan  dan  teman-temannya.  Usaha  itu  segera  membuahkan  hasil  yang  tidak  terduga.  Dunant
diundang  kemana-mana  dan  dipuji  dimana-mana.  Banyak  orang  yang  tertarik  dengan  ide  Henry  Dunant,  termasuk
Gustave Moynier,  seorang  pengacara  dan  juga  ketua  dari The Geneva  Public Welfare  Society  (GPWS). Moynier  pun
mengajak Henry Dunant untuk mengemukakan idenya dalam pertemuan GPWS yang berlangsung pada 9 Februari 1863
di  Jenewa.  ternyata,  160 dari  180 orang  anggota GPWS mendukung  ide Dunant. Pada  saat  itu  juga  ditunjuklah  empat
orang anggota GPWS dan dibentuklah KOMITE LIMA untuk memperjuangkan terwujudnya ide Henry Dunant.  Mereka
adalah :
1.  Gustave Moynier
2.  dr. Louis Appia
3.  dr. Theodore Maunoir
4.  Jenderal Guillame-Hendri Dufour 
Adapun  Henry  Dunant,  walaupun  bukan  anggota  GPWS,  namun  dalam  komite  tersebut  ditunjuk  menjadi
sekretaris.  Pada  tanggal  17  Februari  1863, Komite Lima  berganti  nama menjadi  Komite Tetap  Internasional  untuk
Pertolongan Prajurit yang Terluka sekaligus mengangkat ketua baru yaitu Jenderal Guillame – Henri Dufour. 
Pada  bulan  Oktober  1863,  Komite  Tetap  Internasional  untuk  Pertolongan  Prajurit  yang  Terluka,  atas
bantuan  Pemerintah  Swiss,  berhasil  melangsungkan  Konferensi  Internasional  pertama    di  Jenewa  yang  dihadiri
perwakilan  dari  16  negara  (Austria,  Baden,  Beierem,  Belanda,  Heseen-Darmstadt,  Inggris,  Italia,  Norwegia,  Prusia,
Perancis, Spanyol, Saksen, Swedia, Swiss, Hannover dan Hutenberg). Beberapa Negara  tersebut  saat  ini sudah menjadi
Negara bagian dari Jerman. 
Adapun  hasil  dari  konferensi  tersebut,  adalah  disepakatinya  satu  konvensi  yang  terdiri  dari  sepuluh  pasal,
beberapa  diantaranya  merupakan  pasal  krusial  yaitu  digantinya  nama  Komite  Tetap  Internasional  untuk  Menolong Prajurit  yang  Terluka  menjadi  KOMITE  INTERNASIONAL  PALANG  MERAH  atau  ICRC  (International
Committeee  of  the Red Cross)  dan  ditetapkannya  tanda  khusus  bagi  sukarelawan  yang memberi  pertolongan  prajurit
yang luka di medan pertempuran yaitu Palang Merah diatas dasar putih. 
Pada  akhir  konferensi  internasional  1863,  gagasan  pertama  Dunant  –  untuk  membentuk  perhimpunan  para
sukarelawan di setiap negara pun menjadi kenyataan. Beberapa perhimpunan serupa dibentuk beberapa bulan kemudian
setelah  berlangsungnya  konferensi  internasional  di  Wurttemburg,  Grand  Duchy  of  Oldenburg,  Belgia  dan  Prusia.
Perhimpunan  lain pun segera berdiri seperti di Denmark, Perancis,  Italy, Mecklenburgh-schwerin, Spain, Hamburg dan
Hesse. Pada waktu itu mereka disebut sebagai Komite Nasional atau Perhimpunan Pertolongan.  
Selanjutnya, dengan dukungan pemerintah Swiss kembali, diadakanlah Konferensi Diplomatik yang dilaksanakan
di Jenewa pada tanggal 8 sampai 28 Augustus 1864. 16 negara dan empat institusi donor mengirimkan wakilnya. Sebagai
bahan  diskusi,  sebuah  rancangan  konvensi  disiapkan  oleh  Komite  Internasional.  Rancangan  tersebut  dinamakan
“Konvensi  Jenewa  untuk memperbaiki  kondisi  tentara  yang  terluka  di medan  perang”  dan  disetujui  pada  tanggal  22
Agustus 1864. Lahirlah HPI modern. Konvensi itu mewujudkan ide Dunant yang kedua, yaitu untuk memperbaiki situasi
prajurit  yang  terluka  pada  saat  peperangan  dan membuat  negara-negara memberikan  status  netral  pada  prajurit  yang
terluka dan orang-orang yang merawatnya yaitu personil kesehatan.

B. Komponen Gerakan
Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Pada  akhir  perang  dunia  pertama  sebagian  besar  daerah  di  Eropa  sangat  kacau,  ekonomi  rusak,  populasi
berkurang  drastis  karena  epidemi.  Sejumlah  besar  pengungsi  yang  miskin  dan  orang  yang  tidak  mempunyai
kewarganegaraan memenuhi benua  itu. Perang  tersebut  sangat  jelas menunjukkan perlunya kerjasama yang kuat  antara
perhimpunan Palang Merah yang karena aktivitasnya dalam masa perang dapat menarik  ribuan  sukarelawan. Henry P.
Davison, Presiden Komite Perang Palang Merah Amerika, mengusulkan pada konferensi internasional medis (April 1919,
Cannes, Perancis) untuk “mem-federasikan perhimpunan palang merah dari berbagai negara menjadi sebuah organisasi
setara  dengan  liga  bangsa-bangsa;  dalam  hal  peperangan  dunia  untuk memperbaiki  kesehatan, mencegah  penyakit  dan
mengurangi penderitaan.” 
Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah1
 kemudian secara formal terbentuk dengan markas
besarnya di Paris oleh Perhimpunan Palang Merah dari Perancis,  Inggris,  Itali, Jepang, Amerika Serikat pada  tanggal 5
Mei 1919 dengan  tujuan utama memperbaiki kesehatan pada negara-negara yang  telah sangat menderita setelah perang.
Liga  itu  juga  bertujuan  untuk  „memperkuat  dan menyatukan  aktivitas  kesehatan  yang  sudah  ada  dalam  Perhimpunan
Palang Merah dan  untuk mempromosikan pembentukan perhimpunan baru.
Ribuan  mayat  tumpang  tindih  dengan  mereka  yang  terluka  tanpa  pertolongan.  Jumlah  ahli  bedah  pun  sangat  tidak  mencukupi. Saat  itu, hanya ada empat orang dokter hewan yang merawat seribu kuda serta seorang dokter untuk seribu  orang. Pertempuran tersebut pada akhirnya dimenangkan oleh Perancis.  Akibat  perang  dengan  pemandangannya  yang  sangat  mengerikan  itu,  menggugah  Henry  Dunant,  seorang  pengusaha  berkebangsaan  Swiss  (1828  –  1910)  yang  kebetulan  lewat  dalam  perjalanannya  untuk  menemui  Kaisar  Napoleon  III  guna  keperluan  bisnis. Namun menyaksikan  pemandangan  yang  sangat mengerikan  akibat  pertempuran,   membuat kesedihannya muncul dan terlupa akan tujuannya bertemu dengan kaisar. Dia mengumpulkan orang-orang dari  desa-desa sekitarnya dan tinggal di sana selama tiga hari untuk sungguh-sungguh menghabiskan waktunya guna merawat  orang yang terluka.   Ribuan  orang  yang  terluka  tanpa  perawatan  dan  dibiarkan mati  di  tempat  karena  pelayanan medis  yang  tidak  mencukupi  jumlahnya dan  tidak memadai dalam  tugas/keterampilan, membuatnya  sangat  tergugah. Kata-kata bijaknya  yang  diungkapkan  saat  itu,  Siamo  tutti  fratelli  (Kita  semua  saudara), membuka  hati  para  sukarelawan  untuk melayani  kawan maupun lawan tanpa membedakannya.  
Komite Internasional  Sekembalinya Dunant ke Swiss, membuatnya  terus dihantui oleh mimpi buruk yang disaksikannya di Solferino.  Untuk menghilangkan bayangan buruk dalam pikirannya dan untuk menarik perhatian dunia  akan kenyataan kejamnya  perang, ditulisnya sebuah buku dan diterbitkannya dengan biaya sendiri pada bulan November 1862. Buku itu diberi judul  “Kenangan dari Solferino” (Un Souvenir De Solferino).   Buku itu mengandung dua gagasan penting yaitu:  ·  Perlunya mendirikan perhimpunan bantuan di setiap negara yang terdiri dari sukarelawan untuk merawat orang  yang terluka pada waktu perang.  ·  Perlunya  kesepakatan  internasional  guna  melindungi  prajurit  yang  terluka  dalam medan  perang  dan  orang- orang yang merawatnya serta memberikan status netral kepada mereka.  Selanjutnya Dunant mengirimkan buku itu kepada keluarga-keluarga terkemuka di Eropa dan juga para pemimpin  militer,  politikus,  dermawan  dan  teman-temannya.  Usaha  itu  segera  membuahkan  hasil  yang  tidak  terduga.  Dunant  diundang  kemana-mana  dan  dipuji  dimana-mana.  Banyak  orang  yang  tertarik  dengan  ide  Henry  Dunant,  termasuk  Gustave Moynier,  seorang  pengacara  dan  juga  ketua  dari The Geneva  Public Welfare  Society  (GPWS). Moynier  pun  mengajak Henry Dunant untuk mengemukakan idenya dalam pertemuan GPWS yang berlangsung pada 9 Februari 1863  di  Jenewa.  ternyata,  160 dari  180 orang  anggota GPWS mendukung  ide Dunant. Pada  saat  itu  juga  ditunjuklah  empat  orang anggota GPWS dan dibentuklah KOMITE LIMA untuk memperjuangkan terwujudnya ide Henry Dunant.  Mereka  adalah :  1.  Gustave Moynier  2.  dr. Louis Appia  3.  dr. Theodore Maunoir  4.  Jenderal Guillame-Hendri Dufour   Adapun  Henry  Dunant,  walaupun  bukan  anggota  GPWS,  namun  dalam  komite  tersebut  ditunjuk  menjadi  sekretaris.  Pada  tanggal  17  Februari  1863, Komite Lima  berganti  nama menjadi  Komite Tetap  Internasional  untuk  Pertolongan Prajurit yang Terluka sekaligus mengangkat ketua baru yaitu Jenderal Guillame – Henri Dufour.   Pada  bulan  Oktober  1863,  Komite  Tetap  Internasional  untuk  Pertolongan  Prajurit  yang  Terluka,  atas  bantuan  Pemerintah  Swiss,  berhasil  melangsungkan  Konferensi  Internasional  pertama    di  Jenewa  yang  dihadiri  perwakilan  dari  16  negara  (Austria,  Baden,  Beierem,  Belanda,  Heseen-Darmstadt,  Inggris,  Italia,  Norwegia,  Prusia,  Perancis, Spanyol, Saksen, Swedia, Swiss, Hannover dan Hutenberg). Beberapa Negara  tersebut  saat  ini sudah menjadi  Negara bagian dari Jerman.   Adapun  hasil  dari  konferensi  tersebut,  adalah  disepakatinya  satu  konvensi  yang  terdiri  dari  sepuluh  pasal,  beberapa  diantaranya  merupakan  pasal  krusial  yaitu  digantinya  nama  Komite  Tetap  Internasional  untuk  Menolong Prajurit  yang  Terluka  menjadi  KOMITE  INTERNASIONAL  PALANG  MERAH  atau  ICRC  (International  Committeee  of  the Red Cross)  dan  ditetapkannya  tanda  khusus  bagi  sukarelawan  yang memberi  pertolongan  prajurit  yang luka di medan pertempuran yaitu Palang Merah diatas dasar putih.   Pada  akhir  konferensi  internasional  1863,  gagasan  pertama  Dunant  –  untuk  membentuk  perhimpunan  para  sukarelawan di setiap negara pun menjadi kenyataan. Beberapa perhimpunan serupa dibentuk beberapa bulan kemudian  setelah  berlangsungnya  konferensi  internasional  di  Wurttemburg,  Grand  Duchy  of  Oldenburg,  Belgia  dan  Prusia.  Perhimpunan  lain pun segera berdiri seperti di Denmark, Perancis,  Italy, Mecklenburgh-schwerin, Spain, Hamburg dan  Hesse. Pada waktu itu mereka disebut sebagai Komite Nasional atau Perhimpunan Pertolongan.    Selanjutnya, dengan dukungan pemerintah Swiss kembali, diadakanlah Konferensi Diplomatik yang dilaksanakan  di Jenewa pada tanggal 8 sampai 28 Augustus 1864. 16 negara dan empat institusi donor mengirimkan wakilnya. Sebagai  bahan  diskusi,  sebuah  rancangan  konvensi  disiapkan  oleh  Komite  Internasional.  Rancangan  tersebut  dinamakan  “Konvensi  Jenewa  untuk memperbaiki  kondisi  tentara  yang  terluka  di medan  perang”  dan  disetujui  pada  tanggal  22  Agustus 1864. Lahirlah HPI modern. Konvensi itu mewujudkan ide Dunant yang kedua, yaitu untuk memperbaiki situasi  prajurit  yang  terluka  pada  saat  peperangan  dan membuat  negara-negara memberikan  status  netral  pada  prajurit  yang  terluka dan orang-orang yang merawatnya yaitu personil kesehatan. 
B. Komponen Gerakan  Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah  Pada  akhir  perang  dunia  pertama  sebagian  besar  daerah  di  Eropa  sangat  kacau,  ekonomi  rusak,  populasi  berkurang  drastis  karena  epidemi.  Sejumlah  besar  pengungsi  yang  miskin  dan  orang  yang  tidak  mempunyai  kewarganegaraan memenuhi benua  itu. Perang  tersebut  sangat  jelas menunjukkan perlunya kerjasama yang kuat  antara  perhimpunan Palang Merah yang karena aktivitasnya dalam masa perang dapat menarik  ribuan  sukarelawan. Henry P.  Davison, Presiden Komite Perang Palang Merah Amerika, mengusulkan pada konferensi internasional medis (April 1919,  Cannes, Perancis) untuk “mem-federasikan perhimpunan palang merah dari berbagai negara menjadi sebuah organisasi  setara  dengan  liga  bangsa-bangsa;  dalam  hal  peperangan  dunia  untuk memperbaiki  kesehatan, mencegah  penyakit  dan  mengurangi penderitaan.”   Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah1  kemudian secara formal terbentuk dengan markas  besarnya di Paris oleh Perhimpunan Palang Merah dari Perancis,  Inggris,  Itali, Jepang, Amerika Serikat pada  tanggal 5  Mei 1919 dengan  tujuan utama memperbaiki kesehatan pada negara-negara yang  telah sangat menderita setelah perang.  Liga  itu  juga  bertujuan  untuk  „memperkuat  dan menyatukan  aktivitas  kesehatan  yang  sudah  ada  dalam  Perhimpunan  Palang Merah dan  untuk mempromosikan pembentukan perhimpunan baru. Bagian penting dari  kerja Federasi  adalah
menyediakan dan mengkoordinasi bantuan bagi korban bencana alam dan epidemi. Sejak 1939 markas permanennya telah
berada di Jenewa. Pada  tahun 1991, keputusan diambil untuk merubah nama Liga Perhimpunan Palang Merah menjadi
Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau IFRC (International Federation of
the Red Cross and Red Crescent Societis). 
Selanjutnya,  baik  IFRC,  ICRC  dan Perhimpunan Nasional, merupakan  bagian  dari  komponen Gerakan Palang
Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah  atau  biasa  disebut  dengan  ”Gerakan”  saja.  Komponen  Gerakan  dalam  menjalankan
tugasnya sesuai Prinsip Dasar dan mandat masing-masing sebagaimana yang disebut dalam Statuta Gerakan. 

ICRC
Sebagai  sebuah  lembaga  swasta  dan mandiri,  ICRC  bertindak  sebagai  penengah  yang  netral  antara  dua  negara
yang berperang  atau bermusuhan dalam konflik bersenjata  Internasional, konflik bersenjata non-Internasional dan pada
kasus-kasus  kekerasan  internasional.  Selain  itu,  juga  berusaha  untuk menjamin  bahwa  korban  kekerasan  di  atas,  baik
penduduk sipil maupun militer, menerima perlindungan dan pertolongan.
Pada kasus-kasus konflik bersenjata Internasional maupun non-Internasional, aksi kemanusiaan ICRC didasarkan
pada  Konvensi  dan  protokol-protokolnya.  Ini  alasan  mengapa  kita  mengatakan  bahwa  sebuah  mandat  khusus  telah
dipercayakan kepada ICRC oleh komunitas negara-negara peserta konvensi tersebut. Pada kasus-kasus kekerasan internal,
ICRC bertindak berdasar pada hak inisiatif kemanusiaan seperti tercantum dalam Statuta Gerakan.
ICRC  adalah pelindung Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan pengambil keputusan  atas pengakuan perhimpunan-
Perhimpunan  Nasional,  dimana  dengan  itu  mereka  menjadi  bagian  resmi  dari  Gerakan.  ICRC  bekerja  untuk
mengembangkan HPI, menjelaskan, mendiseminasikan dan mempromosikan Konvensi Jenewa. ICRC juga melaksanakan
kewajiban yang ditimpakan padanya berdasarkan Konvensi-konvensi tersebut dan memastikan bahwa konvensi-konvensi
itu dilaksanakan dan mengembangkannya apabila perlu.

Perhimpunan Nasional
Perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah adalah organisasi kemanusiaan yang ada di setiap
negara  anggota  penandatangan Konvensi  Jenewa. Tidak  ada  negara  yang  dapat memiliki  lebih  dari  satu  Perhimpunan
                                                
1
 Pada saat itu, beberapa negara dimulai dari kerajaan Ottonam (Turki), sudah menggunakan Lambang Bulan Sabit Merah sebagai Lambang
perhimpunan nasionalnya.  
 Nasional. Sebelum  sebuah perhimpunan baru disetujui oleh  ICRC dan menjadi  anggota Federasi, beberapa syarat ketat
harus dipenuhi. Menurut Statuta Gerakan, Perhimpunan Nasional yang baru didirikan, harus disetujui oleh ICRC. Untuk
dapat memperoleh persetujuan dari ICRC, sebuah Perhimpunan Nasional harus memenuhi 10 syarat yaitu:
•  Didirikan disuatu Negara Peserta Konvensi Jenewa 1949 
•  Satu-satunya Perhimpunan PM/BSM Nasional di Negaranya 
•  Diakui oleh Pemerintah Negaranya 
•  Memakai nama dan lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah
•  Bersifat mandiri 
•  Memperluas kegiatan di seluruh wilayah 
•  Terorganisir dalam menjalankan tugasnya dan dilaksanakan diseluruh wilayah negaranya  
•  Menerima anggota tanpa membedakan latar belakang 
•  Menyetujui Statuta Gerakan
•  Menghormati Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan menjalankan tugasnya sejalan dengan prinsip-prinsip HPI

IFRC
Seluruh  Perhimpunan Nasional  adalah  anggota  dari  IFRC.  Badan  ini mendukung  aktivitas  kemanusiaan  yang
dilaksanakan  oleh Perhimpunan Nasional  atas  nama  kelompok-kelompok  rentan  dan  bertindak  sebagai  juru  bicara  dan
sebagai  wakil  Internasional  mereka.  Federasi  mendukung  Perhimpunan  Nasional  dan  ICRC  dalam  usahanya  untuk
mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan tentang HPI dan mempromosikan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan.
menyediakan dan mengkoordinasi bantuan bagi korban bencana alam dan epidemi. Sejak 1939 markas permanennya telah  berada di Jenewa. Pada  tahun 1991, keputusan diambil untuk merubah nama Liga Perhimpunan Palang Merah menjadi  Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau IFRC (International Federation of  the Red Cross and Red Crescent Societis).   Selanjutnya,  baik  IFRC,  ICRC  dan Perhimpunan Nasional, merupakan  bagian  dari  komponen Gerakan Palang  Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah  atau  biasa  disebut  dengan  ”Gerakan”  saja.  Komponen  Gerakan  dalam  menjalankan  tugasnya sesuai Prinsip Dasar dan mandat masing-masing sebagaimana yang disebut dalam Statuta Gerakan.  
ICRC  Sebagai  sebuah  lembaga  swasta  dan mandiri,  ICRC  bertindak  sebagai  penengah  yang  netral  antara  dua  negara  yang berperang  atau bermusuhan dalam konflik bersenjata  Internasional, konflik bersenjata non-Internasional dan pada  kasus-kasus  kekerasan  internasional.  Selain  itu,  juga  berusaha  untuk menjamin  bahwa  korban  kekerasan  di  atas,  baik  penduduk sipil maupun militer, menerima perlindungan dan pertolongan.  Pada kasus-kasus konflik bersenjata Internasional maupun non-Internasional, aksi kemanusiaan ICRC didasarkan  pada  Konvensi  dan  protokol-protokolnya.  Ini  alasan  mengapa  kita  mengatakan  bahwa  sebuah  mandat  khusus  telah  dipercayakan kepada ICRC oleh komunitas negara-negara peserta konvensi tersebut. Pada kasus-kasus kekerasan internal,  ICRC bertindak berdasar pada hak inisiatif kemanusiaan seperti tercantum dalam Statuta Gerakan. ICRC  adalah pelindung Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan pengambil keputusan  atas pengakuan perhimpunan- Perhimpunan  Nasional,  dimana  dengan  itu  mereka  menjadi  bagian  resmi  dari  Gerakan.  ICRC  bekerja  untuk  mengembangkan HPI, menjelaskan, mendiseminasikan dan mempromosikan Konvensi Jenewa. ICRC juga melaksanakan  kewajiban yang ditimpakan padanya berdasarkan Konvensi-konvensi tersebut dan memastikan bahwa konvensi-konvensi  itu dilaksanakan dan mengembangkannya apabila perlu. 
Perhimpunan Nasional  Perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah adalah organisasi kemanusiaan yang ada di setiap  negara  anggota  penandatangan Konvensi  Jenewa. Tidak  ada  negara  yang  dapat memiliki  lebih  dari  satu  Perhimpunan                                                    1  Pada saat itu, beberapa negara dimulai dari kerajaan Ottonam (Turki), sudah menggunakan Lambang Bulan Sabit Merah sebagai Lambang  perhimpunan nasionalnya.     Nasional. Sebelum  sebuah perhimpunan baru disetujui oleh  ICRC dan menjadi  anggota Federasi, beberapa syarat ketat  harus dipenuhi. Menurut Statuta Gerakan, Perhimpunan Nasional yang baru didirikan, harus disetujui oleh ICRC. Untuk  dapat memperoleh persetujuan dari ICRC, sebuah Perhimpunan Nasional harus memenuhi 10 syarat yaitu:  •  Didirikan disuatu Negara Peserta Konvensi Jenewa 1949   •  Satu-satunya Perhimpunan PM/BSM Nasional di Negaranya   •  Diakui oleh Pemerintah Negaranya   •  Memakai nama dan lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah  •  Bersifat mandiri   •  Memperluas kegiatan di seluruh wilayah   •  Terorganisir dalam menjalankan tugasnya dan dilaksanakan diseluruh wilayah negaranya    •  Menerima anggota tanpa membedakan latar belakang   •  Menyetujui Statuta Gerakan  •  Menghormati Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan menjalankan tugasnya sejalan dengan prinsip-prinsip HPI 
IFRC  Seluruh  Perhimpunan Nasional  adalah  anggota  dari  IFRC.  Badan  ini mendukung  aktivitas  kemanusiaan  yang  dilaksanakan  oleh Perhimpunan Nasional  atas  nama  kelompok-kelompok  rentan  dan  bertindak  sebagai  juru  bicara  dan  sebagai  wakil  Internasional  mereka.  Federasi  mendukung  Perhimpunan  Nasional  dan  ICRC  dalam  usahanya  untuk  mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan tentang HPI dan mempromosikan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan.
LAMBANG PALANG MERAH  DAN BULAN SABIT MERAH INTERNASIONAL 
A. Sejarah Lambang  Lambang Palang Merah  Sebelum Lambang Palang Merah diadopsi sebagai Lambang yang netral untuk memberikan pertolongan kepada  tentara  yang  terluka  di  medan  perang,  pada  waktu  itu  setiap  pelayanan  medis  kemiliteran  memiliki  tanda  pengenal  sendiri-sendiri dengan warna yang berbeda-beda. Austria misalnya, menggunakan bendera putih. Perancis menggunakan  bendera merah  dan Spanyol menggunakan  bendera  kuning. Akibatnya, walaupun  tentara  tahu  apa  tanda  pengenal  dari  personel medis mereka, namun biasanya mereka tidak tahu apa tanda pengenal personel medis lawan mereka. Pelayanan  medis pun tidak dianggap sebagai pihak yang netral. Melainkan dipandang sebagai bagian dari kesatuan tentara, sehingga  tanda pengenal  tersebut bukannya memberi  perlindungan  namun  juga dianggap  sebagai  target bagi  tentara  lawan yang  tidak mengetahui apa artinya.  Lambat  laun  muncul  pemikiran  yang  mengarah  kepada  pentingnya  mengadopsi  Lambang  yang  menawarkan  status netral kepada mereka yang membantu korban luka dan menjamin pula perlindungan mereka yang membantu di  medan  perang.  Kepentingan  tersebut  menuntut  dipilihnya  hanya  satu  Lambang.  Namun  yang  menjadi  masalah  kemudian,  adalah memutuskan  bentuk Lambang  yang  akan  digunakan  oleh  personel medis  sukarela  di medan  perang.  Dalam suatu kurun waktu,  ikat  lengan berwarna putih dipertimbangkan sebagai salah satu kemungkinan. Namun, warna  putih  telah  digunakan  dalam  konflik  bersenjata  oleh  pembawa  bendera  putih  tanda  gencatan  senjata,  khususnya  untuk  menyatakan  menyerah.  Penggunaan  warna  putih  pun  dapat  menimbulkan  kebingungan  sehingga  perlu  dicari  suatu  kemungkinan Lambang lainnya.   Delegasi dari Konferensi Internasional tahun 1863 akhirnya memilih Lambang Palang Merah di atas dasar putih,  warna  kebalikan dari bendera nasional Swiss  (palang putih diatas dasar merah)  sebagai bentuk penghormatan  terhadap  Negara  Swiss  yang  memfasilitasi  berlangsungnya  Konferensi  Internasional  saat  itu.  Bentuk  Palang  Merah  pun  memberikan  keuntungan  teknis  karena  dinilai  memiliki  desain  yang  sederhana  sehingga  mudah  dikenali  dan  mudah  dibuat.  Selanjutnya  pada  tahun  1863, Konferensi  Internasional  bertemu  di  Jenewa  dan  sepakat mengadopsi  Lambang  Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal perhimpunan bantuan bagi tentara yang terluka – yang kemudian  berubah menjadi  Perhimpunan Nasional  Palang Merah.  Pada  tahun  1864, Lambang  Palang Merah  di  atas  dasar  putih  secara resmi diakui sebagai tanda pengenal pelayanan medis angkatan bersenjata.   
Lambang Bulan Sabit Merah  Delegasi dari Konferensi 1863  tidak memiliki sedikitpun niatan untuk menampilkan sebuah simbol kepentingan  tertentu,  dengan mengadopsi  Palang Merah  di  atas  dasar  putih. Namun  pada  tahun  1876  saat Balkan  dilanda  perang,  sejumlah  pekerja  kemanusiaan  yang  tertangkap  oleh  Kerajaan  Ottoman  (saat  ini  Turki)  dibunuh  semata-mata  karena  mereka memakai ban lengan dengan gambar Palang Merah. Ketika Kerajaan diminta penjelasan mengenai hal ini, mereka  menekankan  mengenai  kepekaan  tentara  kerajaan  terhadap  Lambang  berbentuk  palang  dan  mengajukan  agar  Perhimpunan Nasional dan pelayanan medis militer mereka diperbolehkan untuk menggunakan Lambang yang berbeda  yaitu  Bulan  Sabit Merah.  Gagasan  ini  perlahan-lahan mulai  diterima  dan memperoleh  semacam  pengesahan  dalam  bentuk  “reservasi”  dan  pada Konferensi  Internasional  tahun  1929  secara  resmi  diadopsi  sebagai Lambang  yang  diakui dalam Konvensi, bersamaan dengan Lambang Singa dan Matahari Merah di atas dasar putih yang saat itu dipilih oleh  Persia  (saat  ini  Iran).  Tahun  1980,  Republik  Iran memutuskan  untuk  tidak  lagi menggunakan  Lambang  tersebut  dan  memilih memakai Lambang Bulan Sabit Merah. 
Lambang Kristal Merah  Pada  Konferensi  Internasional  yang  ke-29  tahun  2006,    sebuah  keputusan  penting  lahir,  yaitu  diadopsinya  Lambang Kristal Merah  sebagai Lambang  keempat  dalam Gerakan  dan memiliki  status  yang  sama  dengan Lambang  lainnya yaitu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Konferensi Internasional yang mengesahkan Lambang Kristal Merah  tersebut, mengadopsi Protocol Tambahan  III  tentang penambahan Lambang Kristal Merah untuk Gerakan, yang  sudah  disahkan sebelumnya pada Konferensi Diplomatik tahun 2005.  Usulan membuat Lambang keempat, yaitu Kristal Merah,  diharapkan  dapat menjadi  jawaban,  ketika  Lambang  Palang Merah  dan  Bulan  Sabit Merah  tidak  bisa  digunakan  dan  „masuk  ke  suatu  wilayah  konflik.  Mau  tidak  mau,  perlu  disadari  bahwa  masih  banyak  pihak  selain  Gerakan  yang
menganggap bahwa Lambang terkait dengan simbol kepentingan tertentu. 
Penggunaan Lambang Kristal Merah sendiri pada akhirnya memilliki dua pilihan yaitu: dapat digunakan  secara
penuh  oleh  suatu Perhimpunan Nasional,  dalam  arti mengganti Lambang Palang Merah  atau Bulan  Sabit Merah  yang
sudah  digunakan  sebelumnya,  atau menggunakan  Lambang Kristal Merah  dalam waktu  tertentu  saja  ketika  Lambang
lainnya  tidak  dapat  diterima  di  suatu  daerah.  Artinya,  baik  Perhimpunan  Nasional,  ICRC  dan  Federasi  pun  dapat
menggunakan Lambang Kristal Merah dalam suatu operasi kemanusiaan  tanpa mengganti kebijakan merubah Lambang
sepenuhnya. 

B. Ketentuan Lambang
Bentuk dan Penggunaan
Ketentuan mengenai bentuk dan penggunaan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ada dalam:
1.  Konvensi Jenewa I Pasal 38 – 45
2.  Konvensi Jenewa II Pasal 41 – 45
3.  Protokol 1 Jenewa tahun 1977
4.  Ketetapan Konferensi Internasional Palang Merah XX tahun 1965
5.  Hasil Kerja Dewan Delegasi Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional tahun 1991 
Pada penggunaannya, penempatan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak boleh sampai menyentuh
pinggiran dan dasar putihnya. Lambang harus utuh dan tidak boleh ditambah lukisan, gambar atau tulisan. Pada Lambang
Bulan  Sabit Merah,  arah menghadapnya  (ke  kanan  atau  ke  kiri)  tidak  ditentukan,  terserah  kepada  Perhimpunan  yang
menggunakannya.
Selanjutnya,  aturan  penggunaan  Lambang  bagi  Perhimpunan  Nasional  maupun  bagi  lembaga  yang  menjalin
kerjasama  dengan  Perhimpunan  Nasional,  misalnya  untuk  penggalangan  dana  dan  kegiatan  sosial  lainnya  tercantum
dalam  “Regulations  on  the Use  of  the  Emblem  of  the  Red  Cross  and  of  the  Red Crescent  by National  Societies”.
Peraturan ini, yang diadopsi di Budapest bulan November 1991, mulai berlaku sejak 1992.  

Fungsi Lambang
Telah ditentukan bahwa Lambang memiliki fungsi untuk :
·  Tanda Pengenal yang berlaku di waktu damai
·  Tanda Perlindungan yang berlaku diwaktu damai dan perang/konflik 
Apabila digunakan sebagai Tanda Pengenal, Lambang  tersebut harus dalam ukuran kecil, berfungsi pula untuk
mengingatkan bahwa institusi di atas bekerja sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan. Pemakaian Lambang sebagai
Tanda Pengenal  juga menunjukan bahwa seseorang, sebuah kendaraan atau bangunan berkaitan dengan Gerakan. Untuk
itu,  Gerakan  secara  organisasi  dapat  mengatur  secara  teknis  penggunaan  Tanda  Pengenal  misalnya  dalam  seragam,
bangunan, kendaraan dan sebagainya. Penggunaan Lambang sebagai Tanda Pengenal pun harus didasarkan pada undang-
undang nasional mengenai Lambang untuk Perhimpunan Nasionalnya. 
Apabila  Lambang  digunakan  sebagai  tanda  pelindung,  Lambang  tersebut  harus  menimbulkan  sebuah  reaksi
otomatis untuk menahan diri dan menghormati di antara kombatan. Lambang harus selalu ditampakkan dalam bentuknya
yang asli. Dengan kata lain, tidak boleh ada sesuatupun yang ditambahkan padanya – baik terhadap Palang Merah, Bulan
Sabit Merah ataupun pada dasarnya yang putih. Karena Lambang tersebut harus dapat dikenali dari jarak sejauh mungkin,
ukurannya harus besar, yaitu sebesar yang diperlukan dalam situasi perang. Lambang menandakan adanya perlindungan
bagi:
·  Personel medis dan keagamaan angkatan bersenjata
·  Unit dan fasilitas medis angkatan bersenjata
·  Unit  dan  transportasi medis  Perhimpunan Nasional  apabila  digunakan  sebagai  perbantuan  terhadap  pelayanan
medis angkatan bersenjata
·  Peralatan Medis

 Penyalahgunaan Lambang
Setiap  negara  peserta  Konvensi  Jenewa  memiliki  kewajiban  membuat  peraturan  atau  undang-undang  untuk
mencegah dan mengurangi penyalahgunaan Lambang. Negara secara khusus harus mengesahkan suatu peraturan untuk
melindungi  Lambang  Palang  Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah.  Dengan  demikian,  pemakaian  Lambang  yang  tidak
diperbolehkan  oleh  Konvensi  Jenewa  dan  Protokol  Tambahan  merupakan  pelanggaran  hukum.  Bentuk-bentuk
penyalahgunaan Lambang yaitu:
> Peniruan (Imitation): 
Penggunaan  tanda-tanda  yang  dapat  disalah  artikan  sebagai  lambang  Palang  Merah  atau  bulan  sabit  merah
(misalnya warna dan bentuk yang mirip). Biasanya digunakan untuk tujuan komersial.
> Penggunaan yang Tidak Tepat (Usurpation): 
Penggunaan  lambang  Palang  Merah  atau  bulan  sabit  merah  oleh  kelompok  atau  perseorangan  (perusahaan 
komersial, organisasi non-pemerintah, perseorangan, dokter swasta, apoteker dsb) atau penggunaan  lambang oleh orang
yang berhak namun digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan (misalnya seseorang
yang  berhak menggunakan  lambang  namun menggunakannya  untuk  dapat melewati  batas  negara  dengan  lebih mudah
pada saat tidak sedang tugas).
> Penggunaan yang Melanggar Ketentuan/Pelanggaran Berat (Perfidy/Grave misuse)
Penggunaan  lambang  Palang Merah  atau  bulan  sabit  merah  dalam  masa  perang  untuk  melindungi  kombatan
bersenjata  atau  perlengkapan militer  (misalnya  ambulans  atau  helikopter  ditandai  dengan  lambang  untuk mengangkut
kombatan  yang  bersenjata;  tempat  penimbunan  amunisi  dilindungi  dengan  bendera  Palang Merah)  dianggap  sebagai
kejahatan perang.

PRINSIP DASAR GERAKAN PALANG MERAH
DAN BULAN SABIT MERAH INTERNASIONAL

A. Sejarah Munculnya Prinsip Dasar
Definisi
Kata “prinsip” berasal dari bahasa Latin “principium” yang berarti penyebab utama, asal atau dasar. Prinsip juga
dapat  berarti  „suatu  aturan-aturan  dasar  yang mengekspresikan  nilai-nilai  dasar  suatu  kelompok  komunitas  yang  tidak
berubah-ubah dalam keadaan apapun.
menganggap bahwa Lambang terkait dengan simbol kepentingan tertentu.   Penggunaan Lambang Kristal Merah sendiri pada akhirnya memilliki dua pilihan yaitu: dapat digunakan  secara  penuh  oleh  suatu Perhimpunan Nasional,  dalam  arti mengganti Lambang Palang Merah  atau Bulan  Sabit Merah  yang  sudah  digunakan  sebelumnya,  atau menggunakan  Lambang Kristal Merah  dalam waktu  tertentu  saja  ketika  Lambang  lainnya  tidak  dapat  diterima  di  suatu  daerah.  Artinya,  baik  Perhimpunan  Nasional,  ICRC  dan  Federasi  pun  dapat  menggunakan Lambang Kristal Merah dalam suatu operasi kemanusiaan  tanpa mengganti kebijakan merubah Lambang  sepenuhnya.  
B. Ketentuan Lambang  Bentuk dan Penggunaan  Ketentuan mengenai bentuk dan penggunaan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ada dalam:  1.  Konvensi Jenewa I Pasal 38 – 45  2.  Konvensi Jenewa II Pasal 41 – 45  3.  Protokol 1 Jenewa tahun 1977  4.  Ketetapan Konferensi Internasional Palang Merah XX tahun 1965  5.  Hasil Kerja Dewan Delegasi Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional tahun 1991   Pada penggunaannya, penempatan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak boleh sampai menyentuh  pinggiran dan dasar putihnya. Lambang harus utuh dan tidak boleh ditambah lukisan, gambar atau tulisan. Pada Lambang  Bulan  Sabit Merah,  arah menghadapnya  (ke  kanan  atau  ke  kiri)  tidak  ditentukan,  terserah  kepada  Perhimpunan  yang  menggunakannya.  Selanjutnya,  aturan  penggunaan  Lambang  bagi  Perhimpunan  Nasional  maupun  bagi  lembaga  yang  menjalin  kerjasama  dengan  Perhimpunan  Nasional,  misalnya  untuk  penggalangan  dana  dan  kegiatan  sosial  lainnya  tercantum  dalam  “Regulations  on  the Use  of  the  Emblem  of  the  Red  Cross  and  of  the  Red Crescent  by National  Societies”.  Peraturan ini, yang diadopsi di Budapest bulan November 1991, mulai berlaku sejak 1992.   
Fungsi Lambang  Telah ditentukan bahwa Lambang memiliki fungsi untuk :  ·  Tanda Pengenal yang berlaku di waktu damai  ·  Tanda Perlindungan yang berlaku diwaktu damai dan perang/konflik   Apabila digunakan sebagai Tanda Pengenal, Lambang  tersebut harus dalam ukuran kecil, berfungsi pula untuk  mengingatkan bahwa institusi di atas bekerja sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan. Pemakaian Lambang sebagai  Tanda Pengenal  juga menunjukan bahwa seseorang, sebuah kendaraan atau bangunan berkaitan dengan Gerakan. Untuk  itu,  Gerakan  secara  organisasi  dapat  mengatur  secara  teknis  penggunaan  Tanda  Pengenal  misalnya  dalam  seragam,  bangunan, kendaraan dan sebagainya. Penggunaan Lambang sebagai Tanda Pengenal pun harus didasarkan pada undang- undang nasional mengenai Lambang untuk Perhimpunan Nasionalnya.   Apabila  Lambang  digunakan  sebagai  tanda  pelindung,  Lambang  tersebut  harus  menimbulkan  sebuah  reaksi  otomatis untuk menahan diri dan menghormati di antara kombatan. Lambang harus selalu ditampakkan dalam bentuknya  yang asli. Dengan kata lain, tidak boleh ada sesuatupun yang ditambahkan padanya – baik terhadap Palang Merah, Bulan  Sabit Merah ataupun pada dasarnya yang putih. Karena Lambang tersebut harus dapat dikenali dari jarak sejauh mungkin,  ukurannya harus besar, yaitu sebesar yang diperlukan dalam situasi perang. Lambang menandakan adanya perlindungan  bagi:  ·  Personel medis dan keagamaan angkatan bersenjata  ·  Unit dan fasilitas medis angkatan bersenjata  ·  Unit  dan  transportasi medis  Perhimpunan Nasional  apabila  digunakan  sebagai  perbantuan  terhadap  pelayanan  medis angkatan bersenjata  ·  Peralatan Medis 
 Penyalahgunaan Lambang  Setiap  negara  peserta  Konvensi  Jenewa  memiliki  kewajiban  membuat  peraturan  atau  undang-undang  untuk  mencegah dan mengurangi penyalahgunaan Lambang. Negara secara khusus harus mengesahkan suatu peraturan untuk  melindungi  Lambang  Palang  Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah.  Dengan  demikian,  pemakaian  Lambang  yang  tidak  diperbolehkan  oleh  Konvensi  Jenewa  dan  Protokol  Tambahan  merupakan  pelanggaran  hukum.  Bentuk-bentuk  penyalahgunaan Lambang yaitu:  > Peniruan (Imitation):   Penggunaan  tanda-tanda  yang  dapat  disalah  artikan  sebagai  lambang  Palang  Merah  atau  bulan  sabit  merah  (misalnya warna dan bentuk yang mirip). Biasanya digunakan untuk tujuan komersial.  > Penggunaan yang Tidak Tepat (Usurpation):   Penggunaan  lambang  Palang  Merah  atau  bulan  sabit  merah  oleh  kelompok  atau  perseorangan  (perusahaan   komersial, organisasi non-pemerintah, perseorangan, dokter swasta, apoteker dsb) atau penggunaan  lambang oleh orang  yang berhak namun digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan (misalnya seseorang  yang  berhak menggunakan  lambang  namun menggunakannya  untuk  dapat melewati  batas  negara  dengan  lebih mudah  pada saat tidak sedang tugas).  > Penggunaan yang Melanggar Ketentuan/Pelanggaran Berat (Perfidy/Grave misuse)  Penggunaan  lambang  Palang Merah  atau  bulan  sabit  merah  dalam  masa  perang  untuk  melindungi  kombatan  bersenjata  atau  perlengkapan militer  (misalnya  ambulans  atau  helikopter  ditandai  dengan  lambang  untuk mengangkut  kombatan  yang  bersenjata;  tempat  penimbunan  amunisi  dilindungi  dengan  bendera  Palang Merah)  dianggap  sebagai  kejahatan perang. 
PRINSIP DASAR GERAKAN PALANG MERAH  DAN BULAN SABIT MERAH INTERNASIONAL 
A. Sejarah Munculnya Prinsip Dasar  Definisi  Kata “prinsip” berasal dari bahasa Latin “principium” yang berarti penyebab utama, asal atau dasar. Prinsip juga  dapat  berarti  „suatu  aturan-aturan  dasar  yang mengekspresikan  nilai-nilai  dasar  suatu  kelompok  komunitas  yang  tidak  berubah-ubah dalam keadaan apapun. Sebagai contoh, penghargaan kepada individu adalah suatu prinsip yang mendasari
kemerdekaan. 

Landasan
Banyaknya  Perhimpunan  Nasional  Palang  Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah  yang  bekerja  dalam  konteks  yang
berbeda-beda,  dengan  puluhan  juta  anggota,  Gerakan  Palang  Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah  memiliki  warna  yang
beraneka  ragam.  Lebih  dari  itu,  pekerjaannya  pada  dasarnya  terdiri  dari  kegiatan  sehari-hari  yang  praktis  dan  yang
seringkali diimprovisasi. Dalam rangka mengatasi perbedaan ini, meminimalisasi ketidakcocokan dan memupuk tindakan
yang  konsisten  dan  efektif, Gerakan memerlukan  standar  yang  universal  sebagai  referensi,  seperangkat  kebijakan  dan
pendekatan yang umum; dengan kata lain, Prinsip-prinsip Dasar.

Batasan
Pekerjaan Gerakan pada awalnya relatif lebih sederhana, karena tugasnya terbatas pada pemberian bantuan pada
tentara  yang  luka  dan  sakit  dalam  masa  perang.  Namun  dengan  berlalunya  waktu,  tugasnya  menjadi  lebih  luas  dan
beraneka-ragam.  Untuk  tetap  dapat  mengontrol  kegiatannya  yang  terus  berkembang,  dan  menghindari  perpecahan,
Gerakan  memformulasikan  prinsip  mereka  sendiri  untuk  diketahui  oleh  semua  orang  dan  untuk  lebih  dapat
mendefinisikan jenis kegiatan kemanusiaan mereka.

Asal-Usul
Sebelum Gerakan mengadopsi tujuh Prinsip Dasar yang ada saat ini, telah banyak kategori Prinsip yang diajukan.
Usulan adanya Prinsip Dasar bagi Gerakan, semula  terdapat pada Deklarasi Oxford (1946), namun  teks masih kasar dan
lepas-lepas. Pada  tahun 1949, adanya Prinsip Dasar  telah disebutkan pula dalam konvensi  I (pasal 44) dan konvensi  IV
(pasal 63). Selanjutnya berkembang pada  tahun 1955 dimana   Jean Pictet mulai menulis penelitiannya secara sistematik
dan membagi Prinsip menjadi 2 kategori yaitu Prinsip Dasar (fumandental) dan Prinsip Organis (Organic). Pada konteks
Palang Merah, suatu prinsip menurut Jean Pictet adalah aturan-aturan  tindakan yang wajib, berdasar pada pertimbangan
dan pengalaman, yang mengatur kegiatan dari semua komponen Gerakan pada setiap saat. Sejak tahun 1965, Buku Pictet
pun menjadi  dasar  pertimbangan  tertulis  dan  resmi  diumumkan  di Viena,  konverensi  Internasional  Palang Merah  dan
Bulan  Sabit Merah  ke-20.  namun  demikian,  baru  pada  tahu  1979,  Pictet menulis  uraian  tentang  Prinsip  Dasar  yang
ditulisnya. Secara resmi, Konverensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-25 mengadopsi Tujuh Prinsip
Dasar  dan  memasukannya  kedalam  pembukaan  statuta  baru.  Ketujuh  Prinsip  dasar  itu  meliputi  :  Kemanusiaan,
Kesamaan, Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.  
 Makna dan Kategori
Ketujuh  prinsip  merupakan  satu  kesatuan  yang  tidak  dapat  dipisahkan.  Prinsip-prinsip  tersebut  dapat  dilihat
sebagai suatu piramida yang akan rusak apabila salah satu bagiannya  jatuh atau diambil. Meskipun setiap bagian saling
terikat  dan  tergantung,  masing-masing  memiliki  peranan  sendiri-sendiri.  Prinsip-prinsip  ini  dapat  dibagi  dalam  tiga
kategori, yaitu: 
> Prinsip Substantif/utama, meliputi Kemanusiaan dan Kesamaan
Prinsip-prinsip  ini berlaku  sebagai  inspirasi organisasi, merupakan  tujuan dari Gerakan, menentukan  tindakan-
tindakan di masa perang, pada saat bencana alam atau kegiatan lain yang dilakukan untuk melayani umat manusia.
> Prinsip Derivatif/ turunan, meliputi Kenetralan dan Kemandirian
Prinsip  yang memungkinkan  untuk mengaplikasikan  prinsip  substansi  /  utama, menjamin  kepercayaan  semua
orang dan memungkinkan Gerakan untuk mencapai tujuannya tanpa masalah.
> Prinsip dan organis, meliputi Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.
Prinsip-prinsip  ini  sebagai  standar  untuk  aplikasi,  berhubungan  dengan  struktur  dan  operasi  organisasi,
merupakan „batu fondasi
kemerdekaan.  
Landasan  Banyaknya  Perhimpunan  Nasional  Palang  Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah  yang  bekerja  dalam  konteks  yang  berbeda-beda,  dengan  puluhan  juta  anggota,  Gerakan  Palang  Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah  memiliki  warna  yang  beraneka  ragam.  Lebih  dari  itu,  pekerjaannya  pada  dasarnya  terdiri  dari  kegiatan  sehari-hari  yang  praktis  dan  yang  seringkali diimprovisasi. Dalam rangka mengatasi perbedaan ini, meminimalisasi ketidakcocokan dan memupuk tindakan  yang  konsisten  dan  efektif, Gerakan memerlukan  standar  yang  universal  sebagai  referensi,  seperangkat  kebijakan  dan  pendekatan yang umum; dengan kata lain, Prinsip-prinsip Dasar. 
Batasan  Pekerjaan Gerakan pada awalnya relatif lebih sederhana, karena tugasnya terbatas pada pemberian bantuan pada  tentara  yang  luka  dan  sakit  dalam  masa  perang.  Namun  dengan  berlalunya  waktu,  tugasnya  menjadi  lebih  luas  dan  beraneka-ragam.  Untuk  tetap  dapat  mengontrol  kegiatannya  yang  terus  berkembang,  dan  menghindari  perpecahan,  Gerakan  memformulasikan  prinsip  mereka  sendiri  untuk  diketahui  oleh  semua  orang  dan  untuk  lebih  dapat  mendefinisikan jenis kegiatan kemanusiaan mereka. 
Asal-Usul  Sebelum Gerakan mengadopsi tujuh Prinsip Dasar yang ada saat ini, telah banyak kategori Prinsip yang diajukan.  Usulan adanya Prinsip Dasar bagi Gerakan, semula  terdapat pada Deklarasi Oxford (1946), namun  teks masih kasar dan  lepas-lepas. Pada  tahun 1949, adanya Prinsip Dasar  telah disebutkan pula dalam konvensi  I (pasal 44) dan konvensi  IV  (pasal 63). Selanjutnya berkembang pada  tahun 1955 dimana   Jean Pictet mulai menulis penelitiannya secara sistematik  dan membagi Prinsip menjadi 2 kategori yaitu Prinsip Dasar (fumandental) dan Prinsip Organis (Organic). Pada konteks  Palang Merah, suatu prinsip menurut Jean Pictet adalah aturan-aturan  tindakan yang wajib, berdasar pada pertimbangan  dan pengalaman, yang mengatur kegiatan dari semua komponen Gerakan pada setiap saat. Sejak tahun 1965, Buku Pictet  pun menjadi  dasar  pertimbangan  tertulis  dan  resmi  diumumkan  di Viena,  konverensi  Internasional  Palang Merah  dan  Bulan  Sabit Merah  ke-20.  namun  demikian,  baru  pada  tahu  1979,  Pictet menulis  uraian  tentang  Prinsip  Dasar  yang  ditulisnya. Secara resmi, Konverensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-25 mengadopsi Tujuh Prinsip  Dasar  dan  memasukannya  kedalam  pembukaan  statuta  baru.  Ketujuh  Prinsip  dasar  itu  meliputi  :  Kemanusiaan,  Kesamaan, Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.     Makna dan Kategori  Ketujuh  prinsip  merupakan  satu  kesatuan  yang  tidak  dapat  dipisahkan.  Prinsip-prinsip  tersebut  dapat  dilihat  sebagai suatu piramida yang akan rusak apabila salah satu bagiannya  jatuh atau diambil. Meskipun setiap bagian saling  terikat  dan  tergantung,  masing-masing  memiliki  peranan  sendiri-sendiri.  Prinsip-prinsip  ini  dapat  dibagi  dalam  tiga  kategori, yaitu:   > Prinsip Substantif/utama, meliputi Kemanusiaan dan Kesamaan  Prinsip-prinsip  ini berlaku  sebagai  inspirasi organisasi, merupakan  tujuan dari Gerakan, menentukan  tindakan- tindakan di masa perang, pada saat bencana alam atau kegiatan lain yang dilakukan untuk melayani umat manusia.  > Prinsip Derivatif/ turunan, meliputi Kenetralan dan Kemandirian  Prinsip  yang memungkinkan  untuk mengaplikasikan  prinsip  substansi  /  utama, menjamin  kepercayaan  semua  orang dan memungkinkan Gerakan untuk mencapai tujuannya tanpa masalah.  > Prinsip dan organis, meliputi Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.  Prinsip-prinsip  ini  sebagai  standar  untuk  aplikasi,  berhubungan  dengan  struktur  dan  operasi  organisasi,  merupakan „batu fondasi dari Gerakan. Tanpanya Gerakan tidak dapat bertindak atau akan menghilang secara perlahan.

Hubungan Antarprinsip
Prinsip-prinsip ini saling berhubungan. Hubungan antar prinsip sangatlah logis, sehingga pada tingkatan tertentu
setiap prinsip berasal dari prinsip lainnya. 
Prinsip non-diskriminasi  (kesamaan) berhubungan dengan prinsip  inti Kemanusiaan. “Ras dan agamamu  tidak
penting  untukku.  Hanya  kenyataan  bahwa  kamu  menderita,”  kata  Louis  Pasteur.  Pernyataan  ini  memberi  penjelasan
bahwa konsep non-diskriminasi secara luas sangat berkaitan dengan dengan konsep Kemanusiaan. Satu mendukung yang
lainnya.  Prinsip  proporsional  (dalam Kesamaan)  berasal  dari  prinsip Kemanusiaan  dan  non-diskriminasi  (Kesamaan).
Dapat  ditambahkan  pada  pernyataan  Pasteur  “...  dan  aku  akan  merawatmu  berdasarkan  tingkat  keparahan
penderitaanmu.” Bantuan  terbesar  harus diberikan  kepada mereka  yang memiliki kebutuhan  terbesar. Perhatian  khusus
atas “keseimbangan/proporsionalitas” adalah konsekwensi logis dari kedua prinsip di atas.   
Kenetralan dan kemandirian bukan hanya saling berkaitan satu dengan  lainnya, namun  juga berkaitan dengan
non-diskriminasi  (kesamaan).  Tentu  saja  seseorang  tidak  dapat  menyatakan  dirinya  netral  selagi  ia  berada  di  bawah
kekuasaan orang  lain. Begitu pula seseorang  tidak dapat menyatakan dirinya mandiri apabila  ia memihak. Kecerobohan
terkecil dalam hal ini akan menyebabkan salah satu dari Prinsip ini terdengar kosong dan tidak berarti. Karenanya kedua
prinsip  ini  sungguh-sungguh  saling  bergantung  satu  dengan  lainnya,  dan  tidak  terpisahkan  dengan  prinsip  non-
diskriminasi, yang muncul sebagai suatu kewajiban untuk bertindak tanpa pilih kasih.
Kesukarelaan  (termasuk  tidak  pamrih)  terkait  dengan  Kemanusiaan.  Untuk  menyatakan  bahwa  seseorang
“memiliki rasa amal  terhadap orang lain” atau “ikut menderita bersama mereka” (dua definsi yang dapat diberikan pada
prinsip Kemanusiaan) tidaklah sesuai dengan sikap perhitungan dan mementingkan diri sendiri. Sifat tidak pamrih dengan
demikian merupakan satu aspek dari prinsip ini. Kesatuan berkait dengan non-diskriminasi (kesamaan): kesatuan berarti
bahwa hanya boleh  ada satu perhimpunan nasional di  setiap negara. Sebagaimana yang  tampak nyata,  ada  resiko besar
bahwa  Perhimpunan  Nasional  dapat  terpengaruh  atau  jatuh  ke  suatu  kecenderungan  pandangan  tertentu.  Dengan
demikian,  non-diskriminasi  sangatlah  penting  bagi  Kesatuan.  Kesemestaan  merupakan  sebagian  dari  lanjutan
kemanusiaan dan non-diskriminasi. Prinsip Kemanusiaan tidak hanya berlaku bagi penderitaan mereka yang dekat dengan
kita  (diskriminasi). Apabila demikian maka  “memiliki  rasa  amal  terhadap orang  lain” menjadi  tidak murni  lagi  karena
hanya  menyangkut  pada  orang-orang  tertentu  saja.  Maka  secara  logis,  Kemanusiaan  dan  non-diskriminasi  bersifat
universal.

Implementasi Prinsip Dasar dalam Aktivitas Kepalangmerahan
a)  Kemanusiaan
”Gerakan  Palang  Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah  Internasional  didirikan  berdasarkan  keinginan  memberi
pertolongan  tanpa  membedakan  korban  yang  terluka  di  dalam  pertempuran,  mencegah  dan  mengatasi  penderitaan
sesama manusia. Palang Merah menumbuhkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi bagi
sesama manusia.”
Mewakili  asal-usul  Gerakan,  prinsip  kemanusiaan  menyatakan  bahwa  tidak  boleh  satupun  pelayanan  yang
menguntungkan seseorang yang menderita di manapun mereka berada, ditiadakan. Tujuannya adalah untuk melindungi
hidup  dan  kesehatan  serta menjamin  penghargaan  terhadap manusia.  Di masa  damai,  perlindungan  berarti mencegah
penyakit, bencana atau kecelakaan atau mengurangi efeknya dengan menyelamatkan hidup (mis. pelatihan   Pertolongan
Pertama). Di masa perang, artinya adalah pemberian bantuan kepada mereka yang dilindungi oleh HPI (agar korban tidak
meninggal  kelaparan,  tidak  diperlakukan  secara  semena-semena,  atau  tidak menghilang). Kemanusiaan meningkatkan
saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi bagi sesama manusia.
b) Kesamaan
”Gerakan  ini  tidak  membuat  perbedaan  atas  dasar  kebangsaan,  kesukuan,  agama  atau  pandangan  politik.
Tujuannya  semata-mata  mengurangi  penderitaan  manusia  sesuai  dengan  kebutuhannya  dan  mendahulukan  keadaan
yang paling parah” Non-diskriminasi  terhadap  kebangsaan,  suku,  agama,  golongan  atau  pandangan  politik  adalah  sebuah  aturan
wajib yang menuntut agar segala perbedaan antara pribadi dikesampingkan, bahwa kawan maupun lawan dibantu secara
merata,  dan  diberikan  berdasarkan  pertimbangan  kebutuhan.  Prioritas  pemberian  bantuan  harus  berdasarkan  tingkat
kedaruratannya serta proporsional dengan penderitaan yang ingin diatasi
c)  Kenetralan
”Agar  senantiasa mendapat  kepercayaan  dari  semua  pihak,  gerakan  ini  tidak boleh memihak  atau melibatkan
diri dalam pertentangan politik, kesukuan, agama atau ideologi.”
Kenetralan berarti menahan diri dari memihak dalam permasalahan politik, agama, ras atau  ideologi. Apabila
Palang  Merah  atau  Bulan  Sabit  Merah  memihak,  mereka  akan  kehilangan  kepercayaan  dari  salah  satu  kelompok
masyarakat  dan  sulit  untuk melanjutkan  ativitas mereka.  Setiap  anggota  Gerakan  dituntut  untuk  dapat menahan  diri,
bersikap netral dan tidak mengungkapkan pendapat mereka selama sedang bertugas.
d) Kemandirian
”Gerakan  ini  bersifat  mandiri.  Perhimpunan  Nasional  di  samping  membantu  Pemerintahnya  dalam  bidang
kemanusiaan,  juga  harus mentaati  peraturan  negaranya,  harus  selalu menjaga  otonominya  sehingga  dapat  bertindak
sejalan dengan prinsip-prinsip gerakan ini.”
Secara umum, kemandirian berarti bahwa  institusi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah menolak  segala  jenis
campur  tangan yang bersifat politis,  ideologis  atau  ekonomis yang dapat mengalihkan mereka dari  jalur  kegiatan yang
telah  ditetapkan  oleh  tuntutan  kemanusiaan.  Contohnya,  tidak  boleh  menerima  sumbangan  uang  dari  siapapun  yang
mensyaratkan  bahwa  peruntukkannya  ditujukan  bagi  sekelompok  orang  secara  khusus  berdasarkan  alasan  politis,
kesukuan atau agama dengan mengesampingkan kelompok  lainnya yang kebutuhannya mungkin  lebih mendesak. Tidak
ada  suatu  institusi  Palang Merah  pun  yang  boleh  tampak  sebagai  alat  kebijakan  pemerintah. Walaupun  Perhimpunan
Nasional  diakui  oleh  pemerintahnya  sebagai  alat  bantu  pemerintah,  dan  harus  tunduk  pada  hukum  negaranya, mereka
harus selalu menjaga otonomi mereka agar dapat bertindak sesuai dengan prinsip Gerakan setiap saat.
e)  Kesukarelaan 
“Gerakan  ini  adalah  gerakan  pemberi  bantuan  sukarela,  yang  tidak  didasari  oleh  keinginan  untuk  mencari
keuntungan apa pun.”
Kesukarelaan  adalah  proposal  yang  sangat  tidak mementingkan  diri  sendiri  dari  seseorang  yang melaksanakan
suatu  tugas  khusus  untuk  orang  lain  dalam  semangat  persaudaraan manusia. Apakah  dilakukan  tanpa  bayaran maupun
untuk  suatu pengakuan  atau kompensasi,  faktor utama  adalah bahwa pelaksanaannya bukanlah dengan keinginan untuk
memperoleh keuntungan finansial namun dengan komitmen pribadi dan kesetiaan terhadap tujuan kemanusiaan. 
f)  Kesatuan
”Di dalam suatu negara hanya ada satu perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang terbuka untuk
semua orang dan melaksanakan tugas kemanusiaan di seluruh wilayah.”
Prinsip  kesatuan  secara  khusus  berhubungan  dengan  struktur  institusi  dari  Perhimpunan  Nasional.  Di  negara
manapun, peraturan pemerintah yang mengakui sebuah Perhimpunan Nasional biasanya menyatakan bahwa Perhimpunan
tersebut  merupakan  satu-satunya  Perhimpunan  Nasional  yang  dapat  melaksanakan  segala  kegiatannya  di  wilayah
nasional. Kenyataan bahwa sebuah Perhimpunan merupakan satu-satunya di negaranya juga merupakan salah satu syarat
agar dapat diakui oleh ICRC.
g)  Kesemestaan
”Gerakan  Palang Merah  dan  Bulan  Sabit Merah  Internasional  adalah  bersifat  semesta.  Setiap  Perhimpunan
Nasional mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam menolong sesama manusia.” 

Hubungan Antarprinsip  Prinsip-prinsip ini saling berhubungan. Hubungan antar prinsip sangatlah logis, sehingga pada tingkatan tertentu  setiap prinsip berasal dari prinsip lainnya.   Prinsip non-diskriminasi  (kesamaan) berhubungan dengan prinsip  inti Kemanusiaan. “Ras dan agamamu  tidak  penting  untukku.  Hanya  kenyataan  bahwa  kamu  menderita,”  kata  Louis  Pasteur.  Pernyataan  ini  memberi  penjelasan  bahwa konsep non-diskriminasi secara luas sangat berkaitan dengan dengan konsep Kemanusiaan. Satu mendukung yang  lainnya.  Prinsip  proporsional  (dalam Kesamaan)  berasal  dari  prinsip Kemanusiaan  dan  non-diskriminasi  (Kesamaan).  Dapat  ditambahkan  pada  pernyataan  Pasteur  “...  dan  aku  akan  merawatmu  berdasarkan  tingkat  keparahan  penderitaanmu.” Bantuan  terbesar  harus diberikan  kepada mereka  yang memiliki kebutuhan  terbesar. Perhatian  khusus  atas “keseimbangan/proporsionalitas” adalah konsekwensi logis dari kedua prinsip di atas.     Kenetralan dan kemandirian bukan hanya saling berkaitan satu dengan  lainnya, namun  juga berkaitan dengan  non-diskriminasi  (kesamaan).  Tentu  saja  seseorang  tidak  dapat  menyatakan  dirinya  netral  selagi  ia  berada  di  bawah  kekuasaan orang  lain. Begitu pula seseorang  tidak dapat menyatakan dirinya mandiri apabila  ia memihak. Kecerobohan  terkecil dalam hal ini akan menyebabkan salah satu dari Prinsip ini terdengar kosong dan tidak berarti. Karenanya kedua  prinsip  ini  sungguh-sungguh  saling  bergantung  satu  dengan  lainnya,  dan  tidak  terpisahkan  dengan  prinsip  non- diskriminasi, yang muncul sebagai suatu kewajiban untuk bertindak tanpa pilih kasih.  Kesukarelaan  (termasuk  tidak  pamrih)  terkait  dengan  Kemanusiaan.  Untuk  menyatakan  bahwa  seseorang  “memiliki rasa amal  terhadap orang lain” atau “ikut menderita bersama mereka” (dua definsi yang dapat diberikan pada  prinsip Kemanusiaan) tidaklah sesuai dengan sikap perhitungan dan mementingkan diri sendiri. Sifat tidak pamrih dengan  demikian merupakan satu aspek dari prinsip ini. Kesatuan berkait dengan non-diskriminasi (kesamaan): kesatuan berarti  bahwa hanya boleh  ada satu perhimpunan nasional di  setiap negara. Sebagaimana yang  tampak nyata,  ada  resiko besar  bahwa  Perhimpunan  Nasional  dapat  terpengaruh  atau  jatuh  ke  suatu  kecenderungan  pandangan  tertentu.  Dengan  demikian,  non-diskriminasi  sangatlah  penting  bagi  Kesatuan.  Kesemestaan  merupakan  sebagian  dari  lanjutan  kemanusiaan dan non-diskriminasi. Prinsip Kemanusiaan tidak hanya berlaku bagi penderitaan mereka yang dekat dengan  kita  (diskriminasi). Apabila demikian maka  “memiliki  rasa  amal  terhadap orang  lain” menjadi  tidak murni  lagi  karena  hanya  menyangkut  pada  orang-orang  tertentu  saja.  Maka  secara  logis,  Kemanusiaan  dan  non-diskriminasi  bersifat  universal. 
Implementasi Prinsip Dasar dalam Aktivitas Kepalangmerahan  a)  Kemanusiaan  ”Gerakan  Palang  Merah  dan  Bulan  Sabit  Merah  Internasional  didirikan  berdasarkan  keinginan  memberi  pertolongan  tanpa  membedakan  korban  yang  terluka  di  dalam  pertempuran,  mencegah  dan  mengatasi  penderitaan  sesama manusia. Palang Merah menumbuhkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi bagi  sesama manusia.”  Mewakili  asal-usul  Gerakan,  prinsip  kemanusiaan  menyatakan  bahwa  tidak  boleh  satupun  pelayanan  yang  menguntungkan seseorang yang menderita di manapun mereka berada, ditiadakan. Tujuannya adalah untuk melindungi  hidup  dan  kesehatan  serta menjamin  penghargaan  terhadap manusia.  Di masa  damai,  perlindungan  berarti mencegah  penyakit, bencana atau kecelakaan atau mengurangi efeknya dengan menyelamatkan hidup (mis. pelatihan   Pertolongan  Pertama). Di masa perang, artinya adalah pemberian bantuan kepada mereka yang dilindungi oleh HPI (agar korban tidak  meninggal  kelaparan,  tidak  diperlakukan  secara  semena-semena,  atau  tidak menghilang). Kemanusiaan meningkatkan  saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi bagi sesama manusia.  b) Kesamaan  ”Gerakan  ini  tidak  membuat  perbedaan  atas  dasar  kebangsaan,  kesukuan,  agama  atau  pandangan  politik.  Tujuannya  semata-mata  mengurangi  penderitaan  manusia  sesuai  dengan  kebutuhannya  dan  mendahulukan  keadaan  yang paling parah” Non-diskriminasi  terhadap  kebangsaan,  suku,  agama,  golongan  atau  pandangan  politik  adalah  sebuah  aturan  wajib yang menuntut agar segala perbedaan antara pribadi dikesampingkan, bahwa kawan maupun lawan dibantu secara  merata,  dan  diberikan  berdasarkan  pertimbangan  kebutuhan.  Prioritas  pemberian  bantuan  harus  berdasarkan  tingkat  kedaruratannya serta proporsional dengan penderitaan yang ingin diatasi  c)  Kenetralan  ”Agar  senantiasa mendapat  kepercayaan  dari  semua  pihak,  gerakan  ini  tidak boleh memihak  atau melibatkan  diri dalam pertentangan politik, kesukuan, agama atau ideologi.”  Kenetralan berarti menahan diri dari memihak dalam permasalahan politik, agama, ras atau  ideologi. Apabila  Palang  Merah  atau  Bulan  Sabit  Merah  memihak,  mereka  akan  kehilangan  kepercayaan  dari  salah  satu  kelompok  masyarakat  dan  sulit  untuk melanjutkan  ativitas mereka.  Setiap  anggota  Gerakan  dituntut  untuk  dapat menahan  diri,  bersikap netral dan tidak mengungkapkan pendapat mereka selama sedang bertugas.  d) Kemandirian  ”Gerakan  ini  bersifat  mandiri.  Perhimpunan  Nasional  di  samping  membantu  Pemerintahnya  dalam  bidang  kemanusiaan,  juga  harus mentaati  peraturan  negaranya,  harus  selalu menjaga  otonominya  sehingga  dapat  bertindak  sejalan dengan prinsip-prinsip gerakan ini.”  Secara umum, kemandirian berarti bahwa  institusi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah menolak  segala  jenis  campur  tangan yang bersifat politis,  ideologis  atau  ekonomis yang dapat mengalihkan mereka dari  jalur  kegiatan yang  telah  ditetapkan  oleh  tuntutan  kemanusiaan.  Contohnya,  tidak  boleh  menerima  sumbangan  uang  dari  siapapun  yang  mensyaratkan  bahwa  peruntukkannya  ditujukan  bagi  sekelompok  orang  secara  khusus  berdasarkan  alasan  politis,  kesukuan atau agama dengan mengesampingkan kelompok  lainnya yang kebutuhannya mungkin  lebih mendesak. Tidak  ada  suatu  institusi  Palang Merah  pun  yang  boleh  tampak  sebagai  alat  kebijakan  pemerintah. Walaupun  Perhimpunan  Nasional  diakui  oleh  pemerintahnya  sebagai  alat  bantu  pemerintah,  dan  harus  tunduk  pada  hukum  negaranya, mereka  harus selalu menjaga otonomi mereka agar dapat bertindak sesuai dengan prinsip Gerakan setiap saat.  e)  Kesukarelaan   “Gerakan  ini  adalah  gerakan  pemberi  bantuan  sukarela,  yang  tidak  didasari  oleh  keinginan  untuk  mencari  keuntungan apa pun.”  Kesukarelaan  adalah  proposal  yang  sangat  tidak mementingkan  diri  sendiri  dari  seseorang  yang melaksanakan  suatu  tugas  khusus  untuk  orang  lain  dalam  semangat  persaudaraan manusia. Apakah  dilakukan  tanpa  bayaran maupun  untuk  suatu pengakuan  atau kompensasi,  faktor utama  adalah bahwa pelaksanaannya bukanlah dengan keinginan untuk  memperoleh keuntungan finansial namun dengan komitmen pribadi dan kesetiaan terhadap tujuan kemanusiaan.   f)  Kesatuan  ”Di dalam suatu negara hanya ada satu perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang terbuka untuk  semua orang dan melaksanakan tugas kemanusiaan di seluruh wilayah.”  Prinsip  kesatuan  secara  khusus  berhubungan  dengan  struktur  institusi  dari  Perhimpunan  Nasional.  Di  negara  manapun, peraturan pemerintah yang mengakui sebuah Perhimpunan Nasional biasanya menyatakan bahwa Perhimpunan  tersebut  merupakan  satu-satunya  Perhimpunan  Nasional  yang  dapat  melaksanakan  segala  kegiatannya  di  wilayah  nasional. Kenyataan bahwa sebuah Perhimpunan merupakan satu-satunya di negaranya juga merupakan salah satu syarat  agar dapat diakui oleh ICRC.  g)  Kesemestaan  ”Gerakan  Palang Merah  dan  Bulan  Sabit Merah  Internasional  adalah  bersifat  semesta.  Setiap  Perhimpunan  Nasional mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam menolong sesama manusia.”  

Contributors

Blogger news

manu manchester wall united al-ina